#31

294 34 8
                                    

Seorang wanita yang bekerja di perkebunan sisi barat memberikanku tiga buah sawo matang atas izin paman Purwanka. Jarang sekali ada sawo di rumahku. Mamih dan Mbak di rumah tidak tahu dimana membeli sawo. Di pasar jarang ada penjual yang bawa kalau tidak ada pesanan, di supermarket juga belum tentu ada. Hari keduaku di sini aku meminta Cindhe membawaku sawo yang banyak dari dapur.

Anak buah paman Purwanka dibantu pekerja kebun menurunkan bibit dan pupuk-pupuk. Aku hanya berdiri di samping Ambar sambil memakan sawo. Hanya modal senyum dan lambaian tangan singkat pada setiap warga dan pekerja yang lewat setiap aku ikut paman Purwanka keluar, aku bisa dengan singkat mendapat citra baik di mata mereka.

Apa yang sebenarnya aku incar? Menggantikan posisi Datyani? Bukankah aku mengatakan bahwa aku tidak menginginkan hal itu? Lalu untuk apa aku membangun citra baik di sini? Bukankah aku harus pulang? Apakah aku hanya sedang menikmati hidup sebelum waktu yang dikatakan Parwoko datang?

Aku tersadar pada gigitan ketiga sawo kedua ketika Giyarto setengah berteriak pada seseorang. Giyarto menahan seorang anak kecil yang sepertinya berlari ke arahku. Sepertinya aku pernah melihat anak itu tapi aku lupa di mana.

"Ndoro Danastri." Suaranya kecil dan sedikit cempreng.

"Tidak apa Giyarto."

Giyarto menahan bahu anak itu sambil mengiringinya berjalan mendekatiku. Paman Purwanka dan beberapa anak buahnya sempat menoleh sekilas ke arahku sebelum kembali melanjutkan pekerjaan mereka. Tubuh kecil anak perempuan itu sedikit terhuyung ke belakang ketika Giyarto menahan tubuhnya sekitar lima langkah dariku.

Aku berjongkok dan mengulurkan tangan ke depan. "Tidak apa. Ke sini!"

Anak kecil itu meraih tanganku dan pelan-pelan berjalan mendekat. Tubuh kecilnya dibalut kemben hitan dan lilitan kain sebagai bawahan. Rambutnya hitam tipis dikepang satu.

"Hai?"

"Saya Muni, putri pak Mardhi." Kata-katanya keluar pelan-pelan.

Aku terenyum. "Hai Muni. Saya Danastri. Ada apa?"

Anak ini tersenyum. Menyunggingkan senyum yang malu-malu. Ia lalu mengeluarkan sesuatu yang dari tadi ia sembunyikan di balik tubuh. Sebuah kain batik cokelat terang sederhana berbentuk segitiga. Tangannya yang kecil terulur untuk memberikan kain itu padaku.

"Ndoro Danastri terima kasih sudah percaya pada Bapak."

Aku mendongak untuk beralih menatap wajahnya. Dia sedikit menunduk dan tersenyum malu. Kain segitiga di tangannya aku raih pelan-pelan dan melipatnya hingga menjadi persegi panjang.

"Kamu mau mengepang rambutku?" Tanyaku sambil menunjuk rambut panjang Danastri yang terurai.

Muni tersenyum lebar sambil mengangguk semangat. Jadi aku memutar tubuhku dan membiarkannya berdiri di belakangku. Tangannya dengan jari-jemari yang kecil menyisir rambutku, merasakannya membagi tiga bagian rambut, dan mulai mengepang rambutku. Aku tidak merasakan kepangannya kencang dan aku yakin juga ini akan berantakan.

Tangan mungil Muni terulur dari balik bahuku. Aku menyerahkan kain yang sudah aku lipat-lipat padanya. Muni mengikat ujung kepanganku, menggulung kepangannya ke atas, dan mengikatnya sekali lagi.

Selesai dan dia mundur beberapa langkah ke belakang. Aku membalikan tubuh kembali menghadapnya. Tanganku meraba gulungan kepangan yang baru saja Muni selesaikan. Kepangannya tidak terlalu kencang dan sepertinya tidak seberantakan yang aku pikirkan.

"Terima kasih." Kataku sambil tersenyum dan menjabat tangannya.

Muni cepat-cepat menarik tanganku untuk menciumnya dengan kikuk. "Nanti kapan-kapan Ndoro Danastri kembali ke sawah tempat bapak kerja, ya?"

The Past Keeper : Maliaza AmbaraningdyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang