Bagiku, Safield adalah teman yang amat menyenangkan. Melihatnya pergi membuatku tiba-tiba merasakan kehampaan. Orang seperti Safieldlah yang ada dilingkup pertemananku. Orang-orang yang selalu menebar semangat. Orang yang senang bercerita tanpa peduli orang lain peduli atau tidak. Orang yang secara terang-terangan tidak suka melihat temannya pundung.
Lingkup pertemanan seperti itulah yang selalu aku dapatkan dari SMP, SMA, hingga kuliah. Tidak tahu secara kebetulan atau aku memang mencari kehidupan dari orang-orang seperti Safield.
Berbeda dengan Astaka yang menyimpan cerita-ceritanya, kegiatan sehari-harinya, kehidupannya. Ruby tanpa dimintapun dengan gamblang bercerita tentang harinya setiap malam. Menceritakan apapun yang dia lalui ketika aku tidak ada di sisinya.
Aku melempar bantal pada Astaka ketika ia masuk kamar. Astaka menangkap bantal itu dan membantingnya ke kasur. Ia mengangkat kedua tangannya menenangkanku.
"Lu mau pergi tapi gua gak tahu."
"Saya sudah membujuk paman Purwanka, tapi tidak bisa. Saya harus tetap pergi, Al."
"Terus gua gimana?"
Astaka menggeleng. "Kau tidak bisa ikut." Astaka berdiri di sisi kasur, di hadapanku. "Hanya dua hari. Kami hanya mengantar mereka lalu pulang."
Aku salah. Harusnya tadi sore aku bujuk paman Purwanka mungkin aku bisa ikut bersama mereka.
"Bisa, ya?" Kata Astaka. tangannya terulur mengusap rambutku. Rambut Danastri. "Kau bisa sekali lagi. Mau berapa kalipun kau bisa bertahan tanpa saya."
Aku menggeleng. "Tidak bisa. Aku takut."
"Bisa. Kau bisa." Astaka membungkuk dan memelukku. "Dua hari saja." Dia mencium kepalaku sebelum keluar dari dalam kamar. Aku mendengar Astaka berbicara pada anak buahnya lalu bicara pada Cindhe.
Belati di atas meja rias aku ambil dan aku sembunyikan di bawah bantal tidurku. Dua malam ke depan mungkin aku tidak akan bisa tidur nyenyak. Dua hari ke depan, mungkin aku akan selalu mengikat belati di pinggangku.
Dua hari kedepan aku jalani dengan kelas Guru Besar Widyastika, mengurus Ambar, bermain bersama Sunah, duduk bersama Denurtri di ruang membatik, menemani Dewani. Datyani sudah lebih baik. Endrasuta juga sudah bisa ikut berlatih walau sebentar. Bibi Sadah sudah bergabung di ruang makan dan ruang duduk.
Sore ini aku duduk bersama Denurtri di ruang membatik. Denurtri masih menutup ruang membantik untuk semua orang. Dia masih duduk menyendiri di ruang membatik dengan buku yang ayah berikan.
Aku berdiri di depan pintu dan bertanya apakah aku boleh masuk dan duduk bersamanya. Dia mengizinkan aku dan kami duduk berdampingan. Sebenarnya aku hanya duduk di sampingnya dan menyaksikannya membatik.
Dalam sunyi itu, tiba-tiba dia berkata.
"Saya pikir kau akan pergi ikut Safield."
Sekarang aku ingat apa yang Denurtri katakana saat ia memelukku ketika aku pulang dari makam. Sama seperti paman Purwanka dan penyusup itu, Denurtri menyuruhku untuk pergi.
Kenapa semua orang ingin aku pergi dari sini?
"Karena kau berbahaya bagi mereka."
Aku menoleh ke arah Denurtri yang masih tetap membatik.
"Mereka merasa terancam oleh kehadiranmu. Terutama beberapa bulan belakangan ini, mereka merasa kau semakin berbahaya. Mengancam kedudukan mereka."
Aku curiga Denurtri bisa membaca pikiran seseorang.
"Mereka tahu kau semakin banyak mendapat dukungan warga."
"Mereka siapa? Aku kan tidak melakukan apa-apa."
Denurtri menoleh ke arahku. Dia melirik ke bawah dan tersenyum tipis. "Saya senang Astaka mengajarkanmu untuk mempertahankan hidupmu. Kau menyelamatkan Dewani dan Sura."
Aku menunduk dan mendapati belatiku lupa aku masukan ke dalam rok. Sarung kulit belati yang berwarna cokelat gelap kontras dengan kain bawahku yang berwarna cokelat susu.
"Mereka itu siapa?" Ulangku.
"Mereka." Kata Denurtri sambil menghela napas dan kembali mengambil canting batiknya. "Mereka yang menginginkan kedudukan. Mereka yang menginginkan kekuasaan."
"Apa semua ini terjadi karena aku?"
Denurtri terdengar menghela napas. "Meski kau pergi, mereka tidak akan berhenti sampai mereka dapat yang mereka mau."
"Lalu kenapa kamu tidak ikut mereka juga? Mereka mau bertemu rekannya paman Janitra, kan?"
Denurtri tertawa pelan sambil menggeleng. Dia mengalihan pembicaraan. Tidak lagi membicarakan 'mereka'. Kami mengobrol beberapa hal sampai menjelang gelap dan kami kembali ke kamar masing-masing.
Aku terus memikirkan kata-kata Denurtri. 'Mereka' yang Denurtri maksud adalah orang-orang rumah, kan? Tidak ada orang lain yang menginginkan kedudukan dan kekuasaan kecuali orang-orang dalam rumah ini sendiri.
Astaka sampai di rumah besok sorenya bersama paman Purwanka dan beberapa pengawal lainnya. Dia menghampiriku dalam perjalananku kembali ke kamar dari ruang belajar. Aku berlari dan memeluknya.
"Tidak terjadi apa-apa, kan?"
Aku menggeleng pelan.
Tapi hari-hari berikutnya, aku masih mengikat belati di pinggangku.
***
Cerita ini akan full tamat di chapter 74 (jika tidak ada perubahan) karena saya baru menyelesaikannya semalam.
Terima kasih atas waktu yang diluangkan untuk membaca dan vote kisah Alia dan semoga temen-temen semua bisa bertahan 14 chapter lagi.
Stay save, happy, and healthy all.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Keeper : Maliaza Ambaraningdyah
Ficção HistóricaNOTE// Cerita ini murni fiksi dan khayalan saya. Tidak bermaksud menyinggung kalangan manapun. Satu lukisan menarik perhatianku. Itu hanya lukisan hitam putih yang terlihat sangat tua berbingkai cokelat kayu, sederhana dengan seorang gadis yang meng...