Astaka dan Batara menyelesaikan makan dengan cepat. Mereka harus mengurus sesuatu sebelum mereka pergi besok. Paduka Karkasa dan Nyai Kinasih memberi restu dan doa sebelum kepergian mereka. Saat Astaka lewat di belakangku, aku berbalik untuk berbisik supaya ia tidak pergi tanpa berpamitan.
Aku mulai ketakutan. Takut tentang apapun itu. Takut akan tujuanku mendekatkan Danastri ke rakyatnya. Takut tentang Safield kedepannya. Takut tentang perjodohan yang sedang berlangsung. Takut tentang orang-orang yang menginginkan Danastri mati.
Mereka tidak menyebutkan apapun tentang pernikahan. Pembicaraan seolah berlangsung kalau aku dan Lingga akan berteman dan membangun bisnis bersama. Semua orang juga tahu bahwa maksudnya lebih dari itu.
Beberapa orang sudah pamit mengundurkan diri. Sebagian kembali berkegiatan, sebagian kembali ke kamar masing-masing, sebagian menghilang tidak tahu ke mana. Ayah, paman Janitra, dan beberapa pria lainnya pergi ke ruang duduk untuk mengobrol.
Di meja tempat aku duduk sisa aku dan Dewani. Tidak perlu berpamitan ketika kami akan pergi. Dewani mengamit lenganku saat berjalan ke luar ruang makan, menarikku menuju ruang belajar.
"Dewani, kamu duluan saja, ya?"
Dewani mengerutkan keningnya. "Mbak Astri mau cari Mas Astaka?"
"Iya, sebentar aku harus bicara. Sura pasti sudah menunggu di ruang belajar." Sura, anak kedua paman Parwoko.
Dia terlihat diam untuk menimbang-nimbang. "Iya, baiklah." Dewani mengangguk lalu pergi.
Aku berbohong. Untuk apa pula aku mencari Astaka. Dia akan menemuiku sebelum berangkat. Aku berjalan kembali ke kamar supaya Astaka tidak repot harus mencariku ke mana. Setelah apapun yang terjadi, aku tidak ingin ditinggal begitu saja.
Endrasuta cukup handal dan bisa mengambil keputusan. Giyarto juga tidak ada masalah. Tapi penyusup yang belum tertangkap, orang yang melempari Ambar dengan batu tajam, dan Lawana serta kawanannya tetap membuatku khawatir. Belum lagi Datyani. Ditambah lagi Safield dan kini ada Lingga.
Poin permasalahannya kenapa harus Danastri. Aku berada di sini karena Danastri kabur dari rumah karena ada bangsawan yang datang melamar Danastri. Mungkin lebih dari satu bulan aku di sini, tidak pernah sekalipun ada yang datang melamar Datyani atau Denurtri. Kalau aku harus mempertanyakan hal ini- pada siapa?
Aku berjalan memutar tidak melwati ruang duduk utama karena digunakan Paduka Karkasa dan para tamunya. Mati aku jika tiba-tiba dipanggil untuk ikut duduk di sana. Gelang yang ada di tangan kiriku aku putar-putar sambil terus berjalan cepat menuju kamar sebelum tiba-tiba ada yang meneriakiku untuk bergabung duduk.
"Wow!" Aku hampir jatuh. Jatuh bersama jantungku sekalian. Aku mengindar dari tempat ramai supaya tidak bertemu oarng-orang. Sialnya, manusia mana lagi yang berani menabrakku.
Sebelum aku jatuh, sebuah tangan menarik sikuku hingga aku berdiri lagi. Aku menarik napas bersiap untuk berteriak dan mengomel. Tidak jadi. Tarik napasku aku buang pelan-pelan. Kata-kata 'Bisa lihat-lihat, gak?', hilang begitu saja.
"Maaf, Ndoro Danastri." Lingga mengatupkan kedua tangannya di depan dada.
Aku kehilangan kata-kataku. Orang yang aku pikir akan duduk di ruang duduk bersama yang lain, orang yang justru aku hindari sekarang berdiri di hadapanku.
"Buru-buru?"
Aku tersenyum kaku. "Aku harus mengambil buku untuk kembali ke ruang belajar."
"Mau saya antar?"
"Oh, tidak perlu." Aku buru-buru menjawab.
Lingga mengangguk pelan. "Sampai bertemu di ruang belajar."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Keeper : Maliaza Ambaraningdyah
Ficção HistóricaNOTE// Cerita ini murni fiksi dan khayalan saya. Tidak bermaksud menyinggung kalangan manapun. Satu lukisan menarik perhatianku. Itu hanya lukisan hitam putih yang terlihat sangat tua berbingkai cokelat kayu, sederhana dengan seorang gadis yang meng...