Tubuhku terangkat karena sebuah tangan besar membekap mulutku dan sebelah tangan lagi melingkari tubuhku hingga terangkat.
DUAKH!
"Aaakh!"
Tubuhku dilempar dengan mudah ke arah tumpukan kayu bakar hingga belatiku terlepas. Belum sempat aku bangun atau sekadar membuka mata, sebuah benda tumpul menghantam sisi kanan tubuhku keras.
"AAAAAKH!" Aku tidak akan heran jika lengan kananku patah.
Aku tidak boleh mati sekarang.
Tidak ada juga motivasiku untuk hidup sekarang. Masalahnya aku juga tidak ingin mati. Aku ingin pulang.
Sebelum benda lain menghantam atau bahkan menghunjam tubuhku aku berguling dan merangkak menjauhi tumpukan kayu bakar.
"AAA!"
Kakiku ditarik dengan mudah dan tubuhku ditarik berdiri. Lawana memutar kedua tanganku ke belakang dan menahannya.
"Kau pergi urus yang lain. Datyani, Denurtri, bibi Yuti harus mati."
Dewani berdecak sebal tapi pergi keluar dari dapur.
Aku memberontak dalam dekapan Lawana. Pria itu terdengar menggeram marah lalu menghantam tubuhku ke lemari. Kepalaku sakit bukan main. Pandanganku mulai kabur.
"Kenapa harus Dewani?" Tanyaku di sela rintihan.
"Karena Datyani bodoh." Suara Lawana di telingaku membuatku merinding. "Anak itu bisa bisa diajak maju dan-"
"Yang kamu lakukan bukanlah suatu bentuk kemajuan." Aku sadari suaraku berubah menjadi geraman marah.
Tawa Lawana di telingaku membuat sakit dan berdengung. "Kekuasaan dan kekayan itu sebuah kemajuan, Sayang."
Tubuhku merinding mendengar suara Lawana.
"Datyani tidak bisa karena terlalu bodoh dan tidak bisa diandalkan. Dewani tumbuh dengan segudang rasa cemburu, ambisi, dan naif. Mudah sekali bagiku untuk mengendalikannya."
"Aaakh!" Lawana berteriak ketika sikuku berhasil mengenai dadanya.
Lawana melemparku kembali ke lantai dan aku merangkak menjauhinya. Tanganku terulur untuk menggapai belatiku. Belum sempat belati itu kembali ke tanganku, kakiku kembali ditarik hingga tubuhku terserat mendekatinya. Tangan Lawana membalikan tubuhku dengan mudah.
Rasa takutku memuncak hingga ubun-ubun ketika tubuhnya yang besar membungkuk menahanku di lantai. Kedua tanganku terangkat ke atas kepala dan ditahan dengan satu tangannya.
Aku memberontak kuat agar terlepas dari kekungan tubuhnya. Bagaimana bisa tubuhnya yang sudah penuh luka itu dia masih mempunyai tenaga yang besar.
Lawana semakin merendahkan tubuhnya, menempatkan kepanya di sampingku. Aku memalingkan wajahku sejauh mungkin darinya.
"Astaka sudah tidak bisa lagi menolongmu sekarang. Kita nikmati waktu sebentar setelah itu mungkin bisa saya pertimbangkan untuk membiarkanmu hidup." Bisik Lawana tepat di telingaku.
Jangan menangis, Alia. Jangan menangis sekarang.
Tidak bisa. Air mata pertamaku jatuh ketika tangan Lawana yang kosong mencengkram rahangku dan menarik wajahku menghadapnya. Wajah Lawana sangat dengan dengan wajahku.
Tangan Lawana menahan wajahku tetap menghadapnya. Aku pejamkan mataku erat ketika Lawana semakin mendekatkan wajahnya. Sudah tidak ada lagi tenagaku untuk melawannya.
Empat, lima tetes air mata lagi hingga akhirnya aku sadar aku terisak.
Tiba-tiba...
DUAKH!
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Keeper : Maliaza Ambaraningdyah
HistoryczneNOTE// Cerita ini murni fiksi dan khayalan saya. Tidak bermaksud menyinggung kalangan manapun. Satu lukisan menarik perhatianku. Itu hanya lukisan hitam putih yang terlihat sangat tua berbingkai cokelat kayu, sederhana dengan seorang gadis yang meng...