#44

208 27 5
                                    

Aku bangun dalam keadaan napas yang berat dan cepat. Aku terbangun seperti kehabisan napas, seperti ketika flu dan hidung mampet lalu ketiduran. Aku akan terbangun dalam keadaan kaget sambil menarik napas dalam.

Mataku membelalak tertuju ke atas menatap langit-langit yang terbuka menunjukan susunan kayu, genteng, dan bambu.

"Aaahk!" Ada rasa perih yang amat sangat di lengan kiriku. Ketika aku coba menggerakan tubuhku rasa sakit langsung menyerang seluruh tubuh tanpa cela.

"Aaahk!" Lengan kiriku aku angkat ke depan wajah. Kain putih membalut seluruh lenganku dari atas hingga pergelangan tangan. Kain putih dengan rembesan warna merah. Aku letakkan kembali pelan-pelan lengan kiriku.

Sekelilingku adalah bukan tempat yang aku kenal. Bukan kamar Danastri yang biasanya aku lihat. Tempat asing yang benar-benar asing.

Tidak sebesar kamar Danastri. Tempat di samping kiri pintu adalah tempat tidur tempatku berbaring, mepet tembok. Di samping kiri kasur ada meja kecil tersedia minum, lilin, dan bros. Selurusan dengan pintu ada kursi panjang tempat bibi Dasih berbaring dan tertidur. Di seberang kasur ada jendela yang terbuka lebar tertutup tirai putih tipis.

"Bibi-" Aku berdeham. Tenggorokan kering, tidak ada suara yang bisa keluar dari mulutku.

Tubuhku yang remuk aku coba miringkan ke kanan untuk mendorong tubuhku bangun. Uhk. Fuck. Nyeri di seluruh tubuhku tidak bisa aku tahan. Aku kembali membanting tubuhku ke kasur.

Satu tarik napas. Dua tarik napas. Tiga tarik napas. Rasanya tulang rusukku ada yang patah. Dadaku sakit ketika aku tarik napas.

"Bibi Dasih."

Persetan aku tidak ingin mencoba bangun sekali lagi.

"Bibi Dasih!" Aku mengeluarkan suara sekencang yang aku bisa membuat tenggorokanku semakin sakit.

Bibi Dasih tersentak kaget dan langsung duduk. Ia mengusap wajahnya kasar dan menoleh ke arahku. Matanya membelalak kaget lalu bangun dan berlari ke arahku.

"Puji syukur Gusti Allah. Terima kasih Gusti Agung Pangeran." Ia berlutut di samping tempat tidurku, menautkan jari-jemarinya, dan menundukkan kepalanya. Bibi Dasih berdoa dan mengucapkan terima kasih karena aku bangun.

"Bibi aku ingin minum."

"Iya, Ndok."

Pelan-pelan bibi Dasih membantuku untuk duduk. Gelas di atas meja diambil dan didekatkan ke mulutku. Aku menyeruput pelan-pelan air di dalam gelas. Membiarkan mulut dan tenggorokanku beradaptasi. Setelah yakin tenggorokanku baik-baik saja, aku minum air hingga menyisakan seperempat gelas.

Aku menolak ketika bibi Dasih akan membaringkan tubuhku. Dua bantal yang ada di atas kasur di sandarkan ke dinding dan ditumpuk jadi satu. Aku duduk menyandarkan punggungg ke bantal.

Bibi Dasih duduk di sisi tempat tidur, menggenggam tangan kananku dengan kedua tangannya. Dari bibirnya aku tahu ia masih mengucapkan doa-doa.

Ingatan terakhirku adalah batang pohon yang menggelinding dari atas tebing menghantam kereta kudaku. Selebihnya aku tidak ingat kenapa berakhir di sini.

"Ndok, mau makan?" Bibi Dasih menepuk-nepuk tanganku pelan. "Bibi ambilkan sesuatu."

Aku menggeleng pelan. Tidak yakin ada yang bisa aku telan selain air.

"Kenapa, bi? Apa yang terjadi?"

Bibi Dasih memandangku dengan wajah lelahnya. Ia terus menepuk-nepuk tanganku, tapi tetap diam.

"Di mana yang lain?"

Bibi Dasih masih diam beberapa detik kemudian menangis dan dengan hati-hati memelukku. Aku tidak bisa mendengar jelas apa yang bibi Dasih katakan, tapi yang pasti seputar bahwa aku harus sabar.

The Past Keeper : Maliaza AmbaraningdyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang