Pagi ini aku memilih sarapan di ruang makan. Astaka tidak datang tadi pagi, jadi aku memilih sarapan di ruang makan. Sudah terlalu siang sebenarnya, mungkin ruang makan sudah mulai sepi. Semua orang sudah kembali ke kegiatannya masing-masing.
Siang ini aku dan Dewani harus kembali belajar bersama Guru Besar Widyastika.
Aku berpas-pasan dengan Datyani yang baru selesai makan dan pergi ke luar. Dia mengabaikanku dan terus berjalan menjauh.
Masuk ke dalam ruang makan hanya ada Dewani yang duduk di meja utama, memandang ke arah Datyani pergi. Ketika melihatku berjalan masuk, ia berbalik dan membuang muka. Kembali pada makanannya.
"Dia melakukan sesuatu?" Aku duduk di samping Dewani.
"Hm?" Dewani terlihat kaget dan panik lalu menggeleng pelan. "Tidak." Jawabnya dengan senyum tipis.
"Apa yang dia katakan?" Aku mendesaknya.
Dewani hanya menggeleng.
Aku tidak membayangkan bagaimana Datyani bisa mengeluarkan kata-kata menyakitkan pada Dewani. Dia anak baik dan manis. Anak yang selalu positive thinking dan menganggap baik orang lain. Dia seperti tidak ingin menilai bahwa kakaknya mungkin membencinya.
Selesai sarapan, Dewani menyeretku ke ruang belajar. Guru Besar Widyastika mungkin datang beberapa jam lagi tapi iya sudah mengajakku ke sana untuk membaca buku.
Berbelok menuju ruang belajar aku melihat Denurtri berjalan dari sisi lorong satunya yang berlawanan arah dengan kami. Dia mendekap sesuatu di dadanya. Tangan Dewani sudah terangkat untuk meneriaki Denurtri, tapi Denurtri berbelok masuk ke ruang membatik.
"Mbak Denur jadi selalu berada di ruang membatik tapi tidak mengizinkan siapapun masuk ke sana selama dia ada di dalam. Orang-orang jadi harus menggunakan Rumah Produksi Batik untuk membatik."
Hari itu, saat aku pulang dari makam, Denurtri memelukku lama tanpa mengatakan apapun, tanpa menangis. Dia membiarkan aku menangis di bahunya beberapa saat. Denurtri mengelus punggungku pelan-pelan.
Denurtri mengajakku untuk duduk sambil menunggu makan siang siap. Aku menolaknya dan mengatakan aku ingin tidur saja. Sambil memberikanku pada Cindhe dan Astaka untuk membawaku ke kamar, dia membisikan sesuatu.
Kata yang tidak terdengar jelas karena suara tangisku dan aku anggap angin lalu hingga sekarang aku melihatnya membawa buku yang sama dengan miliku, Datyani, dan Dewani.
Hari ini Dewani terlihat lebih aktif dan ceria. Seperti dia kembali kesedia kala, tapi justru terlihat berlebihan seperti ada yang dia sembunyikan. Aku jadi berpikir untuk menghampiri Datyani untuk bertanya hal jahat apa yang dia katakana pada Dewani. Pikiranku aku kubur dalam-dalam karena sekali lagi aku tidak ingin membuat keributan apapun.
Dewani juga akhir-akhir ini senang menggunakan kebaya. Dia masih sering terlihat meringis dan menghindar ketika bahu kanannya disentuh. Sama seperti aku melindungi lengan kiriku.
Aku ingin bertanya apa yang terjadi padanya 'saat itu' dan luka apa yang dia dapatkan, tapi aku takut malah membuat traumanya kembali.
Aku melewati makan siang dan izin kembali ke kamar. Siang ini aku lewati dengan tidur.
Ketika aku bangun sore harinya aku mendapati Cindhe sedang menyapu kamarku. Dia menawarkan minum dan aku menerimanya.
"Astaka kemana, ya?"
"Sepertinya semua orang sibuk dari pagi, Ndoro." Kata Cindhe. "Saya lihat Ndoro Mas Djati dan Ndoro Mas Yudho pergi terburu-buru bersama Ndoro Mas Lawana tadi siang. Bibi Dasih dan Mbak Ratih juga sibuk mengurus Ndoro Datyani."
Aku mengerutkan kening. "Kenapa Datyani?"
"Tadi siang Ndoro Datyani tiba-tiba sakit, setelah sarapan. Muntah-muntah dan buang air tidak berhenti." Jawab Cindhe.
Sungguh? Terakhir aku melihatnya dia masih terlihat baik-baik saja.
.
Makan malam terasa sepi. Aku menoleh ke arah kursi yang biasa ayah dan ibu duduki dan sekarang kosong. Malam ini mungkin adalah malam pertama aku makan di ruang makan setelah pulang dari rumah paman Janitra.
Kursi-kursi yang biasa diisi pengawal pribadi hanya ada Batara. Beberapa paman yang tidak aku tahu namanya juga kosong kursinya. Datyani juga tidak datang makan malam di ruang makan. Pelayannya mengantar makanan ditemani bibi Dasih.
Selesai makan malam aku langsung menuju kamar walaupun Dewani mengajakku menjenguk Datyani.
Menuju ke kamar, aku lihat Astaka berjalan cepat dari ada lorong gudang makanan. Aku berhenti menantinya. Dia sampai di hadapanku dan dengan cepat menyambar siku kananku dan menariknya.
"Kenapa?"
"Cepat!"
Cindhe yang sedang membakar wewangian di kamar kaget ketika Astaka menutup pintu dengan kencang. Aku duduk di kursi tengah sambil menunggu penjelasannya.
"Ada apa, sih?"
"Orang itu mati."
"Siapa?"
"Penyusup yang kemarin."
What the f-!
"For real?"
Astaka duduk di kursi seberangku dan bersandar. Kepalanya mendongak ke atas. Napasnya memburu mungkin habis berlari dari kandang kuda. Tangannya terangkat memijit pangkal hidung.
"Kapan? Bagaimana?" Tanyaku.
Cindhe yang sudah selesai membakar kelopak bunga mawar yang sudah kering duduk di lantai di dekat meja. Menyimak pembicaraan kami.
"Sepertinya tadi malam. Tubuhnya ditemukan tidak bernyawa tadi pagi." Astaka menghela napas panjang. Ia duduk membungkuk menumpukan sikunya di lutut dan memandangku.
Aku diam mencerna kalimatnya. Memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang ada.
Dia tidak mungkin masih menyimpan batu yang dia gunakan kemarin, kan? Seseorang harus ada yang datang untuk memberinya senjata untuk bunuh diri. Tempat itu tidak mungkin bisa di datangi sembarang orang, kan?
"Apa yang dia lakukan?"
Astaka menegakkan tubuhnya. "Kali ini dia berhasil menusuk jantungnya dengan batu." Astaka diam sejenak. "Batu yang sama yang sudah kami sita dan ada di gudang penyimpanan barang bukti."
Artinya tidak sembarang orang bisa masuk ke sana, kan?
Kita belum mendapat pengakuan siapa yang membayarnya. Sekarang kami tidak lagi memiliki sumber yang bisa dimintai keterangan.
Astaka merogoh sesuatu dari kantung pedangnya. Ia mengeluarkan lipatan kertas dan menyodorkannya padaku.
"Apa?"
"Semalam, dia meminta kertas dan arang untuk menulis surat. Dia menitipkan ini pada anak buah saya." Kata Astaka. "Untukmu."
Tanganku sedikit gemetar saat meraih suratnya. Kenapa pula dia harus menulis surat untuku?
Lipatan kertas itu sudah ada di tanganku tapi mataku tertuju pada Astaka. Memandang matanya lama berharap dia mengerti. Astaka menghela napas kasar lalu kembali mengulurkan telapak tangannya yang terbuka.
Aku tidak bisa baca itu.
Sebenarnya huruf latin sudah ada di sini tapi sangat minim. Mungkin tidak lebih dari lima buku bertulikan huruf latin di seluruh rumah. Bahkan hanya paman Purwanka dan bibi Sadah yang bisa membaca huruf latin lalu diajarkan sedikit ke Sena. Mungkin tidak ada orang lain yang menggunakan huruf latin kecuali mereka bertiga.
Astaka mulai membuka lipatan kertasnya. Ia menarik lampu minyak di atas meja mendekatinya.
Matanya yang tajam berkedip sekali lalu ia mengangkat kepalanya dan kembali memandangku.
"Pergi!" Katanya. "Lebih baik kau pergi dari sini. Atau mati."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Keeper : Maliaza Ambaraningdyah
Historical FictionNOTE// Cerita ini murni fiksi dan khayalan saya. Tidak bermaksud menyinggung kalangan manapun. Satu lukisan menarik perhatianku. Itu hanya lukisan hitam putih yang terlihat sangat tua berbingkai cokelat kayu, sederhana dengan seorang gadis yang meng...