#45

243 34 1
                                    

Aku tidak tahu berapa lama aku sendirian di dalam kamar. Beberapa saat setelah bibi Dasih dan Lingga keluar, Lingga kembali dengan sepiring ubi dan jagung rebus. Ia meletakkannya di meja samping tempat tidur lalu keluar.

Aku duduk sendirian di atas kasur tanpa pikiran apapun. Ada rasa sesak di dadaku. Rasa yang lama-kelamaan membuat tenggorokan dan mataku panas. Aku menangis. Aku menangis membayangkan aku harus kehilangan Papih dan Mamih.

Aku menangis sambil menggengam erat bros pemberian Safield. Berpikir seharusnya aku tidak perlu mengenakannya. Aku seharusnya tidak membawanya. Lebih baik aku tinggalkan benda ini di rumah.

Bros cantik ini ingin aku jaga untuk Danastri. Supaya ia bisa melihatnya. Aku ingin Danastri Bisa menyimpannya dan memungkinkan untuk mendapatinya tersembunyi entah di sudut rumah bagian mana bersama dokemen-dokumen keluarga yang kemarin sore aku acak-acak bersama Jehan.

Danastri pasti merasakan hal yang sama. Sedih, kehilangan, dan hancur berantakan adalah hal yang harusnya dirasakan Danastri. Membayangkan kehilangan Papih dan Mamih bukanlah hal yang utama yang membuatku menangis. Membayangkan kehilangan Paduka Karkasa yang selalu mendukung dan membelaku, yang terlihat begitu menyayangi Danastri. Membayangkan Nyai Kinasih yang walau selalu tegas dan galak, dia memperhatikan dengan baik anak-anaknya.

Raut senang Paduka Karkasa ketika Danastri dan Dewani mau menemaninya di pinggir lapangan. Raut bangga Paduka Karkasa ketika melihat Danastri menunggangi kuda pertama kali, Danastri bisa meredakan rakyat yang protes, Danastri yang bersedia ikut pamann Purwanka, Danastri yang dengan lantang berbicara membela Mardhi. Semuanya terbayang diingatanku.

Diingatanku tertanam jelas segala amarah ketika 'Danastri' berbuat nakal, Nyai Kinasih pernah terlihat senang ketika Danastri mampir ke dapur, Nyai Kinasih pernah terlihat bangga karena Danastri meredakan protes rakyat, Nyai Kinasih begitu bahagia dan semangat ketika bercerita kalau kami akan mengunjungi kediaman paman janitra.

Aku sudah cukup lama bersama mereka. Aku sudah merasakan kasih sayang Paduka Karkasa. Aku sudah merasakan omelan dan perhatian Nyai Kinasih. Mendengar bahwa mereka meninggal, membuat aku merasakan mungkin sedikit saja apa yang seharusnya Danastri rasakan.

Tidak tahu berapa lama aku menangis, aku merasakan lama-lama kelelahan dan aku tahu aku tertidur. Posisiku tertidur sama sekali tidak nyaman. Aku tertidur dalam keadaan duduk bersandar sambil memeluk bantal.

Beberapa saat aku menahan beban berat di dadaku. Rasanya aku terlalu mengantuk untuk bangun dan bernapas dengan normal. Saat tertidur, dadaku kembali berat untuk menarik napas. Aku membiarkannya karena tahu sebentar lagi aku akan terbangun dalam keadaan kaget sambil menarik napas dalam.



Tapi itu sama sekali tidak terjadi. Aku malah tidur semakin dalam dan semakin lelap.

Aku kembali ke ruangan hampa tanpa cahaya. Kembali dalam keadaan tubuhku yang terasa seringan kapas.

"Tidak mau. Aku hanya ingin pulang. PULANG!" Aku berteriak di dalam ruangan gelap gulita.

Beberapa detik kemudian aku mendengar suara 'klik' dua kali lalu aku melihat satu titik cahaya merah. Ada layar besar yang menyala di hadapanku, menyala terang dalam ruangan yang super gelap.

Awalnya hanya layar putih biasa, lalu berubah menampilkan pandangan gelap seperti tidak jauh di dalam hutan, ada pohon-pohon. Dari yang aku lihat, hutan ini ada di bawah jurang yang tidak terlalu tinggi dan tidak cukup curam. Di bawah jurang sebelum masuk hutan ada tiga kereta kuda dan beberapa tubuh yang tergeletak terlindung di baliknya.

Lama-kelamaan kamera berjalan pelan-pelan ke luar hutan, melangkah terus melewati salah satu kereta kuda di bawah jurang dan terus naik. Aku merasa tubuhku inkut bergerak di dalam kegelapan. Tubuhku yang seperti kabut bergerak dengan sendirinya tanap aku mendekati atau menjauhi layar. Aku tetap diam di tempat.

Setengah mendaki jurang, kamera mendongak dan aku melihat kereta kuda yang sudah terlepas dari kudanya terperosok tapi tertahan oleh dua pohon di pinggir jurang.

Pintu sisi kanan kereta kuda sudah terlepas ntah kemana. Dari dalam tangan bergelan-gelang emas dan cincin berbatu besar terjulur ke luar. Aku dari sisi kamera berjelan mendekati kereta kuda.

Aku menolak untuk mendekat, menahan tubuhku untuk terus mendekat. Tapi apa yang ditampilkan di layar adalah apa yang aku lakukan tanpa bisa aku kendalikan. Akal logikaku yang masih sehat berteriak untuk menjauh karena melihat kobaran api di depan sana dan aku merasakan panas api yang berkobar.

"Astri." Nyai Kinasih berkata dengan lirih. Tangannya yang terulur ke luar seperti memintaku untuk mendekat. Dan layar itu melakukannya.

"Aaaaaaaaaaaaaah!" Aku mendengar suara teriakan menyakitkan tidak tahu dari speaker di sebelah mana. Teriakkannya penuh rasa sakit dan pilu. 

Di dalam kereta kuda penuh dengan darah. Kening Nyai Kinasih mengucurkan darah, ada luka sayatan yang merobek kebayanya di lengan atas sebelah kanan, dan satu lagi luka sobek di perut bagian kirinya.

Aku merasakan mata dan tenggorokanku panas. Aku menangis. Danastri menangis.

Di atas tubuh Nyai Kinasih ada tubuh Paduka Karkasa yang aku yakin sudah tidak bernyawa. Dua anak panah menancap di punggungnya, sebagian wajahnya terdapat luka sobek dan memar. Sisi perutnya juga sobek hingga meneteskan darah ke lantai kabin kereta.

"Astri."

Tanganku terasa menggenggam tangan Nyai Kinasih yang terulur ke depan. Aku merasakan tangannya yang lebut mengusap tanganku. Tangannya yang biasanya hangat kini sedingin air kulkas.

Nyai Kinasih mengambil sesuatu dari balik kebayanya. Sebuah kotak kayu kecil ia sodorkan ke arahku. "Simpan! Ini punya Astri." Suara Nyai Kinasih begitu lirih didengar.

Tanganku terasa menggenggam kotak kecil itu lalu melempatnya ntah ke mana.

"Tunggu." Baru aku sadar kalau itu suaraku. Suara Danastri. Dan dia masih menangis. Aku masih menangis. "Kita masih sempat menyelamatkan ibu."

Kita itu siapa?

"Tidak!" Nyai Kinasih menepis tangan yang ulur padanya. "Pergi!" Katanya. "Pergi dari sini! Bahaya!"

Tangan yang terulur di hadapannya mencoba menarik tubuh Nyai Kinasih yang tertindih badan besar Paduka Karkasa –yang sepertinya mencoba melindungi istrinya-keluar dari kereta.

Detik ini aku sadar bahwa aku mencium bau minyak tanah di sekitarku. Hawa panas yang semakin menjadi-jadi juga membuat ku ketakutan setengah mati.

"Lari, Astri! LARI!"

Aku memaksa tubuhku yang seperti asap ini untuk berlari melawan arah layar besar. Memberontak menghindari apapun yang menahanku untuk mengendalikan tubuhku sendiri. Aku berteriak kencang-kencang dan tali yang mengikat tubuhku kuat terburai terlepas begitu saja. Aku terus berlari hingga merasakan seperti kobaran api yang besar tepat di balik punggungku.

Detik berikutnya aku mendengar suara ledakan dan angin panas yang memmuatku terlempar. Ruangan yang tadinya aku pikir ruangan hampa, ternyata aku salah. Aku menghantam sesuatu sebelum berguling dan berhenti ketika punggungku mungkin membentur tembok.

Aku rasa aku hampir mati. Aku terjatuh dalam posisi miring menghadap layar besar yang masih menyala. Hawa panas masih melingkupi tubuhku hingga aku pikir aku ikut terbakar oleh kobaran api. Tepat sebelum aku memejamkan mata, dari layar samar-samar aku melihat seseorang berdiri di sana, di atas jurang tidak jauh dari kobaran api besar.

The Past Keeper : Maliaza AmbaraningdyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang