Pagi ini Cindhe mengingatkanku bahwa aku punya janji pada paman Purwanka kalau aku akan ikut dengannya mengirim sisa pupuk. Pagi ini aku menyempatkan diri untuk makan bersama di ruang makan. Aku tidak ingat apakah aku pernah sarapan di ruang makan atau tidak sebelumnya, tapi saat aku memasuki ruang makan hanya ada sedikit orang di sana. Denurtri salah satunya.
"Wah, suatu kehormatan Ndoro Danastri mau makan bersama kami." Denurtri meledekku sambil menyuap ubi ungu masuk ke dalam mulutnya.
Aku melirik keluar jendela, melihat apakah mungkin aku kesiangan atau malah kepagian. "Apa memang sepi jika makan sepagi ini?"
Denurtri hanya mengangkat bahu sambil menggeleng pelan. Sisa orang yang ada di meja makan adalah orang tua-orang tua yang tidak aku kenal yang tidak pernah berani bersuara ketika aku berbicara.
"Batara silahkan makan."
Pintu ruang makan ada di belakangku jadi aku tidak bisa melihat siapa yang lewat atau masuk. Batara masuk dan mendekati meja makan.
"Selamat pagi, Ndoro." Batara meletakkan tangan kanannya di dada lalu sedikit membungkuk. Aku dan Denurtri mengangguk menjawab salam Batara. "Terima kasih, saya sudah makan bersama pengawal yang lain di belakang."
"Dewani kemana?" Tanyaku.
"Saya pikir Ndoro Ajeng Dewani ada di sini." Nada bicara Batara terdengar pelan dan ragu.
"Kau belum melihatnya?" Denurtri berhenti menyuap ubi ungu rebus di tangannya. Batara menggeleng pelan.
Aku pernah beberapa kali mendengar Denurtri sangat memperhatikan pengawalan. Beberapa kali aku mendengar Denurtri meminta Lawana menyuruh anak buahnya menemani Datyani pergi. Ia juga pernah menegaskan Astaka untuk memperketat keamananku. Apa lagi Batara. Aku sering sekali mendengar Denurtri meminta Batara lebih memperhatikan Dewani. Kalimat yang aku tangkap saat itu adalah bahwa Dewani sudah beranjak dewasa dan pengasuhnya mulai jarang memperhatikan Dewani. Atau mungkin sebenarnya Dewani yang menolak untuk diasuh.
"Bibi Dasih bilang Ndoro Ajeng Dewani akan keruang makan."
"Ndoro Dewani sudah pergi pagi-pagi sekali. Membawa makanannya ke luar." Seorang bibi yang aku ingat adalah istri paman tua yang aku ingat sebagai adiknya ibu berbicara. Wanita itu bangun sambil mengumpulkan piring 3 orang di sekitarnya dan menyerahkannya pada pelayan. "Coba kau cari ke ruang belajar, Batara."
Batara tersenyum lalu membungkuk sedikit. "Terima kasih bibi Karni." Batara bahkan tidak ingin repot memberi salam padaku dan Denurtri. Ia berlari keluar ruang makan.
Denurtri terdengar menghela napas panjang sebelum melanjutkan kembali makanannya. "Kemana Astaka?"
"Hm?" Aku yang sibuk mengupas kulit ubi memandangnya kaget. "Tidak tahu." Jawabku sambil menggeleng pelan.
"Katakan padanya dia harus lebih disiplin pada Batara."
Aku tersenyum dan mengangguk-angguk. "Iya, nanti aku katakan."
Jangan. Aku suka Batara yang ini. Mudah dibujuk, aku bisa memanfaatkannya.
.
Selesai dari ruang makan, aku pergi kembali ke kamarku untuk mengambil selendang. Salah satu pengawal yang biasa menemani paman Purwanka dan aku untuk mengantar keperluan di sawah dan kebun menghampiriku di tempat makan dan mengatakan bahwa paman Purwanka sudah menunggu di depan rumah, kami akan berangkat sebentar lagi.
Perjalanan menuju kamar aku melihat Astaka berjalan berlawanan arah denganku. Postur tubuhnya tetap tegap dan berjalan santai menujuku. Saat kami berpapasan, Astaka hampir berhasil meraih lenganku.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Keeper : Maliaza Ambaraningdyah
Fiksi SejarahNOTE// Cerita ini murni fiksi dan khayalan saya. Tidak bermaksud menyinggung kalangan manapun. Satu lukisan menarik perhatianku. Itu hanya lukisan hitam putih yang terlihat sangat tua berbingkai cokelat kayu, sederhana dengan seorang gadis yang meng...