Dewani menemaniku makan malam di kamarku karena kakiku yang kata tabib tidak boleh dibawa berjalan untuk sementara waktu. Setelah diperiksa, kakiku terkilir karena salah posisi melompat dari atas Ambar. Malam ini aku sama sekali tidak tertarik untuk menyentuh nasi dan segala lauk dan sayur. Aku mengambil ubi rebus ketigaku dari piring.
Saat aku kembali menyenderkan punggungku, aku melihat betapa anggunnya Dewani saat makan. Maksudku bukan hanya Dewani, begitu juga Datyani dan Denurtri. Aku bisa pastikan bahwa seharusnya Danastri juga bertingkah layaknya Putri Kraton Jawa seperti mereka. Danastri. Bukan aku.
Sisa malam ini aku habiskan dengan mendengar cerita Dewani, tentang teman-temannya di desa, tantang salah satu temannya yang tadi bertemu denganku. Dia tipe yang ceria, baik hati, dan polos. Dia tidak terlihat pandai menilai orang dan yang aku takutkan adalah bagaimana dia melihat semua orang dari sisi positifnya.
"Mbak belum sembuh dari jatuh di hutan dan sekarang sudah jatuh lagi dari atas kuda."
Aku terkekeh mendengar penuturannya.
"Dewani sayang mbak Astri." Dia bangun dari duduknya, mengitari meja lalu duduk di sebelahku, memelukku. "Cepat sembuh, ya." Katanya sebelum keluar dari kamarku.
"Terima kasih."
Sungguh berbeda dari bagaimana adikku memperlakukanku saat sakit. Mefiana, gadis rese itu akan mendatangiku, menggodaku hingga membuatku merasa jauh lebih sakit lagi, lalu pergi sambil berteriak 'Jangan mati, lu belum bisa membanggakan orangtua.', dan membanting pintu di hadapanku.
.
"WOAAH!"
Aku hampir lompat dari atas tempat tidurku. Hei kalian para wanita tulen, bisa kalian resapi bagaimana perasaanku ketika bangun tidur dan mendapati sesuatu dibagian bawah perutku ada yang berdiri.
Kain ungu gelap yang menjadi selimut aku lempar menjauhi tubuh. Sambil mengatur napas, aku berusaha terlihat marah di hadapan Sunah yang duduk di sana.
"It's not funny, okay?" Kucing kecil itu meloncat ke atas perutku sebelum berlari mengelilingi kamar.
Aku bangun dan duduk di tepi tempat tidurku, kepalaku menunduk dan mataku mengukir lantai. Lantai semen di bawahku terasa begitu dingin saat kakiku memijaknya.
3 menit lagi janji. Aku berjanji pada diriku sendiri untuk bangun dari tempat tidur dan masuk ke kamar mandi. Cahaya matahari sudah masuk melalui ventilasi-ventilasi di atas jendela, tapi Cindhe belum datang untuk membangunkanku.
"Al?"
Kali ini aku benar melompat dari tempat tidur, mundur hingga menabrak tembok dan hampir menjatuhkan tiang tempat lilin.
"Allahu Akbar!"
Astaka berdiri di depan pintu kamar mandi, di ruangan lukis Danastri. Mengapa dia bisa pergi dari sini menuju selatan untuk menerima tamu dari luar? Kenapa mereka bisa secepat itu dan kembali dalam kurun waktu 24 jam?
"Kapan kau pulang?"
"Tadi pagi." Jawab Astaka sambil duduk di kursi. "Kau mau duduk? Biar saya lihat kakinya."
"Gua gak boleh kebanyakan jalan." Aku menunduk untuk melihat kakiku yang sebenarnya sudah tidak sebengkak semalam.
Astaka berjalan ke arahku, sebelah tangannya terulur saat ia sudah sampai di hadapanku. Telapak tangan besarnya berwarna kemerahan seperti lelah menggenggam sesuatu. Dari telapak tangan, aku beralih ke wajahnya.
"Kalian pergi ke perbatasan selatan sejauh apa sih sebenarnya? Kenapa bisa kembali lagi hanya dalam waktu dua puluh empat jam?"
"Apa bedanya berjalan dengan meloncat dengan kaki cacat seperti itu?" Senyum meremehkannya minta dihajar.
"Gua gak cacat, bodoh." Aku meraih tangannya dan melangkah pelan menuju Astaka. Kakiku tidak separah yang dikatakan tabib. Masih bisa aku paksa berjalan walau sedikit terasa sakit.
"Iya."
"Aaah!" Hanya dalam satu kali gerakan, Astaka mengangkatku ke gendongannya dalam satu kali gerakan. Dia membawaku duduk di kursi lalu berjalan memutari meja dan duduk di kursi seberang.
"Tidak jadi melihat kakiku?" Aku mengangkat kaki kiriku ke atas meja dan menggoyang-goyangkanya.
Astaka memandangku sebentar lalu meraih pisang di atas meja. "Saya sudah lihat saat kau tidur."
"Brengsek!" Lemparan bantalku berhasil ditepisnya sambil tertawa.
"Dengar!" Masih dengan sisa tawanya, Astaka kembali serius. "Dua atau Tiga hari lagi tamu yang selama ini saya temui di perbatasan selatan akan datang."
"Lalu?"
"Mereka berbicara seperti kau berbicara." Suara Astaka semakin dalam dengan nada serius.
"Seperti bagaimana gua ngomong ke lo?"
Astaka menggeleng. "Yang satunya."
"Like how I talking to you?"
Astaka mengangguk. "Seperti itu."
"Sungguh?" Kerut keningku semakin dalam hingga bisa digunakan untuk menyimpan tuyul. "Lalu apa?"
"Saya ingin kau pastikan apa yang mereka bicarakan."
Manusia ini ingin aku menjadi penerjemah?
"Kau jelas bilang kalau Danastri tidak belajar bahasa asing." Aku ingat betul apa yang Astaka katakan di tepi sungai hari itu.
"Bukan." Astaka meletakan kulit pisanganya di atas meja lalu maju dan menatapku serius. "Mereka punya orang sendiri. Orang milik mereka sendiri yang bukan milik Paduka Karkasa."
"AHA!" Aku menentikan jariku paham apa tujuan Astaka. "Gua paham." Kini aku memandang sama seriusnya. "Situ mau saya pastikan bahwa penerjemah itu tidak berbohong?"
"Benar." Astaka terlihat lega melihat bahwa aku mengerti maksudnya.
"Mau bayar gua berapa?"
"Aduh Gusti!" Astaka mengacak-acak rambutnya frustasi sedangkan aku tertawa melihat reaksinya.
"Bercanda."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Keeper : Maliaza Ambaraningdyah
Narrativa StoricaNOTE// Cerita ini murni fiksi dan khayalan saya. Tidak bermaksud menyinggung kalangan manapun. Satu lukisan menarik perhatianku. Itu hanya lukisan hitam putih yang terlihat sangat tua berbingkai cokelat kayu, sederhana dengan seorang gadis yang meng...