So this one is long, long, long chapter.
Bibi Dasih memasang kain-kain kelambu di ventilasi supaya tidak ada nyamuk atau serangga lain yang masuk. Dewani menolak ketika bibi Dasih akan menyalakan lampu minyak yang tergantung di langit-langit. Kami melewati jalan lain yang lebih kecil. Sekarang sudah gelap tidak ada penerangan sepanjang jalan.
Setiap kereta kuda memiliki dua lampu minyak di depan dan dua di belakang. Di atas pak kusir tergangtung satu lampu minyak lagi. Tiga pengawal paling depan masing-masing memegang obor. Jarak beberapa pengawal di belakangnya kanan dan kiri juga memegang obor. Termasuk Endrasuta.
Kabin di dalam kereta hanya diterangi dari cahaya api yang datang dari luar. Tidak ada yang bisa aku lihat di luar sana. Gelap benar-benar tanpa cahaya.
Formasi yang ada juga jadi berubah. Jarak antar kerta kuda menjadi lebih lebar yang jaraknya diisi oleh pengawal berkuda, selang-seling kanan kiri. Jarak antara kereta kuda kami dengan bibi Sadah diisi Endrasuta di sebelah kiri. Pengawal anak buah Yugala berada di belakang kereta kudaku di sebelah kanan.
Di belakang kereta kuda kami diisi tiga pengawal berkuda lalu diikuti kereta pembawa barang yang juga dijaga pengawal berkuda.
Dewani sudah menyelesaikan makan malamnya. Walau hanya ubi dan buah-buahan, tapi dia terlihat menikmati makanannya. Aku bahkan tidak bisa menghabiskan setengah ubi yang disodorkan bibi Dasih.
Aku ingin muntah. Aku akan muntah. Rasanya satu jam lagi aku ada di dalam sini aku akan muntah. Sejak siang aku tetap menjaga minumku, menjaga diriku untuk tidak dehidrasi. Sekarang aku sudah tidak tahan dengan kondisi di jalan dan keadaan di dalam kabin kereta. Ditambah terus menumpuk rasa tidak nyaman dan terancam di dalam dadaku.
Aku merasa amat tidak nyaman pergi dari rumah. Aku merasa tidak aman pergi tanpa Astaka atau paman Purwanka. Ditambah gelap yang melingkupi kereta kuda karena api-api obor yang ada tidak mencapai jangkauan lebih dari tiga meter. Apalagi lampu minyak, yang tergantung disetiap kereta kuda.
Ketika dirasa posisiku semakin tidak nyaman dan mungkin aku bisa memuntahkan isi perutku kapan saja, aku bangun dari duduk. Tinggi langit-langit tidak cukup jadi aku membungkuk pura-pura memperbaiki rok kain batikku.
Anjing.
Dari sisa sinar api lampu minyak yang tergantung di bagian depan kereta kuda kami dan api obor yang dibawa bawahan Yugala, aku dapat melihat di sisi kanan jalan yang kami lewati adalah jurang. Bagian kanan kereta kuda mendekat ke arah jurang. Dewani tidak seharusnya membuka pintu di sampingnya.
Aku duduk kembali dengan canggung. Jantungku berdebar begitu cepat. Pelan-pelan, aku menoleh ke arah kiri. Dari cahaya obor yang dipegang Endrasuta aku bisa melihat hutan-hutan yang tadinya terhampar di sisiku, kini berganti menjadi tebing. Pohon-pohon tinggi menjulang yang tadinya terhampar luas, kini berada di tanah yang menjulang curam.
Bibi Dasih sudah mulai mengantuk. Sesekali kepalanya hampir jatuh lalu terantuk ke sisi kabin dan terbangun. Begitu terus berulang-ulang. Dewani terlihat tersadar sepenuhnya. Duduknya tegak, tangannya terkatup di pangkuan, matanya bulat sempurna memandang lurus kedepan seperti melamun.
"Kamu tidak mengantuk?"
Dewani tersentak kaget. Ia tersenyum kecil sambil menggeleng. "Dewani sudah tidur sepanjang sore."
Gadis di sampingku terlihat santai walau terjaga dengan posisi tubuh tegap. Dia tidur sepanjang sore dan menikmati makan malamnya dengan nikmat. Bibi Dasih mulai memejamkan mata sambil bersandar ke sisi kereta. Tidak tahu apakah mereka tahu kita melewati sisi jurang atau tidak.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Keeper : Maliaza Ambaraningdyah
Tiểu thuyết Lịch sửNOTE// Cerita ini murni fiksi dan khayalan saya. Tidak bermaksud menyinggung kalangan manapun. Satu lukisan menarik perhatianku. Itu hanya lukisan hitam putih yang terlihat sangat tua berbingkai cokelat kayu, sederhana dengan seorang gadis yang meng...