#74 (END)

576 44 10
                                    

Ruby menggenggam tanganku sepanjang jalan kembali ke rumah. Sekarang dia sudah memasang map ditab mobil.

Aku bersandar nyaman pada sandaran kursi sambil menikmati genggamannya di pangkuanku. Rasanya ini genggamanya yang paling nyaman yang pernah aku rasakan. Ini bukan pertama kali Ruby menggengam tanganku tapi malam ini lebih dari apapun yang pernah aku rasakan.

Tidak tahu dalam kecepatan berapa Ruby mengemudikan mobil, dalam satu setengah jam kami sudah ada di dekat rumah. Belok ke dalam gang, sebelum lanjut melewati perkampungan dan memasuki perkebunan dan hutan, Ruby menepikan mobil di depan sebuah warung yang sudah tutup.

Aku menoleh pada Ruby. Lelaki itu duduk menghadapku. Genggaman tangannya semakin erat.

Ruby menarik napas beberapa kali sebelum mengatakan, "Would you marry me?"

"Stop, lu makin gila. Ngelantur ke mana-mana." Tidak pernah aku seterkejut ini dalam hidup. Bahkan tidak ketika aku pindah ke dunia lain.

"Is he ask you something like that? To marry you? To spend the rest of his live with you?"

I think I'm the who ask him that kind of thing.

Mulutku setengah terbuka dan menatapnya tidak percaya. "It's just a dream."

"So, would you marry me?" Ruby menarik bahuku hingga aku menghadapnya. "I think I'm just denial my whole feeling for this whole time. Iya, itu cuma mimpi, tapi justru mimpi itu yang buat gua sadar kalau gua gak bisa lihat lu sama orang lain."

Apakah itu artinya Ruby juga meraskan hal yang sama denganku selama ini?

"Lu baru mulai kerja, gua masih kuliah." Aku memainkan tangannya yang ada di pangkuanku.

"Ya, gak mesti sekarang."

Aku menghela napas panjang sambil membanting punggungku ke sandaran kursi. "Kalau lu mau bilang 'kan bisa besok' atau 'minggu depan aja' atau 'bulan depan oke juga', gua pukul, By. Sumpah!"

Ruby tertawa. Ia menarik tanganku dan menciumi punggung tanganku. "Tidak, maksudnya nanti. Nanti ketika aku punya tabungan, penghasilan. Ketika kita sama-sama siap."

Aku menyimak setiap katanya baik-baik. Memandanginya dengan seksama raut wajahnya, tatapan matanya. Baru aku sadari bahwa aku merindukannya.

"Gua cuma gak mau lihat lu sama orang lain."

Aku menarik kemeja Ruby hingga ia membukuk. Sudut bibirnya aku cium singkat. "Jalan."

Ruby tidak bergerak sama sekali. Dia masih duduk memandangku. Tidak dia kembali memandang jalan dan menginjak pedal gas.

"I think I'm just denial my feeling too this whole time. Gua kaget banget lu tanya begitu." Aku membenarkan dudukku menghadap depan.

Aku tahu Ruby tersenyum tipis. Tangannya yang besar dan hangat menarik kepalaku dan mencium pipiku cepat.

"I love you." Bisiknya.


Pukul 00.30 Ruby memarkirkan mobil di halaman rumah. Di pojok halaman, di bawah pohon rambutan ada satu tambahan mobil yang terparkir. Sebuah mobil sedan tua berwarna cokelat. Salah satu koleksi mobil tua milik om Erwin.

Kami turun dari mobil papih dan berjalan masuk. Pintu rumah masih terbuka, ketika melangkah masuk di ruang tamu duduk beberapa orang. Salah satunya om Erwin.

"Pah?" Ruby duduk di samping om Erwin. "Kapan sampai?"

Om Erwin menepuk-nepuk punggung Ruby. "Jam delapanan. Mamah sama Hansa sudah tidur di kamar belakang."

The Past Keeper : Maliaza AmbaraningdyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang