Cindhe sudah menunggu di kamar, membuka peti dan lemari pakaian. Ia duduk bersimpuh di lantai sambil melipat pakaian-pakaian yang baru kering dijemur. Cindhe menyambutku dengan menawarkan makanan dan minuman. Aku menolaknya.
Aku merebahkan badanku di ujung kasur. Tidur miring menghadap ke arah Cindhe. Ia masih melipat pakaian. Tidak jauh dari dia duduk ada dua peti kosong terbuka siap diisi.
"Ndoro Ajeng mau disiapkan pakaian yang mana?" Tanya Cindhe. Dari tadi aku sengaja diam hingga dia sendiri yang menawarkannya. "Nyai Kinasih memberikanku sepasang pakaian untuk Ndoro Ajeng bawa."
Huh. Pasti 'pakaian indah'.
"Sisanya siapkan saja pakaian-pakaian biasa."
Cindhe melirikku sebentar sebelum mengangguk mengiyakan.
Sepanjang siang itu hingga sore, Cindhe memilah-milah pakaian untukku dan dimasukan ke dalam peti. Aku hanya mengangguk dan menggeleng ketika ia memilih baju mana yang akan aku bawa.
Perutku mulas dan melilit membayangkan apa yang sekiranya bisa aku lakukan di rumah paman Janitra nanti. Membayangkan apa yang sekiranya bisa terjadi di sana. Membayangkan poin-poin apa yang bisa aku jadikan tameng dan argumen protes.
Kontrak bisnis itu hanya basa-basi dan aku tahu itu. Atau mungkin Danastri adalah kontrak bisnis itu lebih tepatnya. Selama Lingga di sini, aku sama sekali tidak bicara banyak dengannya. Aku menghindar tentu saja. Lingga sesekali berusaha menjangkau untuk mengobrol dengan Danastri.
Aku bertanya apakan Cindhe akan ikut. Cindhe bilang tidak, karena jika berpergian seperti ini Nyai Kinasih akan memilih pelayan mana yang akan ikut. Biasanya mereka yang sudah senior dan berpengalaman.
Sudah tidak ada harapan untukku bertahan.
Awalnya aku akan kembali menyuarakan protes ketika makan malam. Nyaliku yang sudah kutumpuk dari siang ciut seketika melihat tegasnya Nyai Kinasih. Di luar dari auranya yang kuat, raut bahagia ibu membicarakan kepergian besok membuatku mengubur dalam-dalam suara protesku.
Aku hanya duduk diam, tersenyum, mengangguk, dan menggeleng. Tidak ada suara lain yang berani aku keluarkan. Sepanjang makan malam itu Datyani kuat menyuarakan persetujuannya. Mendukung pernyataan ibu dan beberpa orang lainnya tentang 'pertemanan' Danastri dan Lingga.
Bajingan ini benar-benar ingin menyingkirkan Danastri dari rumah.
Makan malam selesai dengan cukup cepat dan diakhiri dengan Paduka Karkasa meminta siapapun yang akan berangkat besok menyiapkan apa-apa yang akan dibawa malam ini. Besok kami akan berangkat siang hari.
Dewani keluar dari ruang makan dengan semangat. Langkahnya hampir melompat-lompat menuju kamar. Dia bercerita kalau terakhir kali keluar jauh dari rumah adalah ketika menjenguk Mbah Sri, ibunya ibu. Dia bertanya apakah aku ingat ketika pulang dari sana, aku membawa banyak bibit tumbuhan berbunga dari rumah nenek.
Tentu saja tidak.
Dewani masuk kembali ke kamarnya dan aku terus berjalan kembali ke kamarku. Di ruang duduk sebelah kamar Dewani, aku mendengar suara orang mengobrol. Denurtri duduk di sana bersama Yugala, membicarakan hal tentang membatik. Mereka membicarakan bahan-bahan yang baru datang dan hasil penjualan batik ke daerah yang jauh melewati perbatasan timur.
Yugala berdiri memberi salam padaku ketika aku melewati ruang duduk. Aku menjawab salam Yugala.
Mataku beralih memandang Denurtri yang sudah duluan memandangku dari tadi. Pandangannya seperti ia menunggu kapan aku pergi supaya ia bisa melanjutkan pembicaraannya. Ia mengangkat alisnya bertanya kenapa aku memandangnya. Aku menimbang-nimbang apakah aku harus ikut duduk di sana, karena merasa aku butuh bicara. Aku butuh bicara pada orang yang lebih dewasa dari pada Dewani.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Keeper : Maliaza Ambaraningdyah
Tarihi KurguNOTE// Cerita ini murni fiksi dan khayalan saya. Tidak bermaksud menyinggung kalangan manapun. Satu lukisan menarik perhatianku. Itu hanya lukisan hitam putih yang terlihat sangat tua berbingkai cokelat kayu, sederhana dengan seorang gadis yang meng...