#4

810 71 4
                                    

"Bersihkan dirimu, ganti pakaian, dan kembalikan pakaian itu pada Astaka." Aku merinding saat kecolongan membiarkan pria ini menyentuh kepalaku.

Aku hanya mengangguk dan mengikuti Cindhe. Saat melewati dua perempuan lainnya, aku lihat mereka memandangku sinis. Seperti yang aku pernah katakan, bahwa aku tipe yang 'pendendam', aku balas menatap mereka tak kalah sinisnya.

Keluar dari ruangan, melewati banyak ruangan dan kamar-kamar, melewati banyak lorong yang penuh ukiran indah dan tanaman hias, hingga sampai di taman dalam rumah. Kamarku tepat di sebelah taman itu. Cindhe membukakan pintu kamar untukku.

Aku terpana hanya dengan sekali lihat interior kamar ini. Ruangan ini jauh lebih besar dari kamarku di rumah, jauh lebih besar dari kamar yang aku tempati bersama Jehan dan Ghea. Besarnya bukan dalam bentuk persegi, tapi lebih ke berbentuk huruf 'L'.

"Saya akan menyiapkan bak mandi."

Aku tidak mendengarkan Cindhe dan masih terpesona. Ruangan ini indah dengan caranya sendiri. Aku yang tidak pernah melihat interior semacam ini, tersihir dengan aura dan keindahannya. Seperti di dalam sinetron-sinetron Tutur tinular dan sinetron-sinteron india berlatar belakang kerajaan yang biasa nenek pengasuhku tonton.

Kasur besar di dekat pintu, terbalut kain hijau pudar dan kain ungu gelap yang lebih tebal, beserta bantal-bantal di atasnya lebih menarik perhatianku dari pada harus mandi.

"Ndoro?" Cindhe keluar dari ruangan di pojok kamar. "Bak mandinya sudah siap."

"Oh."

Di pikiranku, aku akan berendam air hangat di bathtub penuh busa dan harum melon kesukaanku. Tapi aku salah. Bak mandi yang dia maksud sebuah kolam kecil berukuran 1,5x2 meter berisi air dan dipenuhi bunga. Harum bunga-bunga itu begitu menusuk hidungku.

"Ini handuknya." Cindhe meletakkan kain biru di atas kursi di dekat kolam. "Saya ambilkan baju gantinya." Gadis itu kembali keluar kamar mandi.

Aku melihat sekelilingku. Kamar mandinya bahkan hampir seukuran kamarku di rumah. Ada sebuah dipan agak jauh dari kolam mandi. Di atasnya terdapat wadah penuh bunga, setumpuk kain, dan beberapa peralatan. Di pojok kamar mandi ada sebuah benda yang aku tidak tahu apa itu. Mungkin sejenis keran atau pompa air manual.

"Ndoro, bajunya saya letakkan di sini." Cindhe kembali membawa satu set baju ganti untukku. Ia meletakkan baju itu di kursi kayu yang agak jauh dari kolam.

Mungkin itu bukan kursi. Hanya sebuah gelondangan kayu besar yang di potong hingga membentuk tabung dan terlihat seperti tempat duduk.

"Oke. Terima kasih."

Aku menunggunya keluar agar aku bisa melepas bajuku dan mandi sesuai perintah 'Ayah'. Tapi hingga detik-detik berikutnya, gadis itu belum juga pergi. Dia hanya diam berdiri di dekat pintu.

"Kenapa masih di situ?"

Cindhe kebingungan dengan pertanyaanku. "Memandikan Ndoro Ayu."

"Gua bisa mandi sendiri!"

"Ndoro?" Dia semakin bingung dengan perkataanku.

Aku menghela napas kesal dan mencoba sabar. "Saya bisa mandi sendiri Cindhe."

"Maaf, Ndoro."

.

Ada seorang tabib yang memeriksaku. Apa yang dia katakan barusan? Kepalaku terbentur dan mengatakan pada intinyna aku hilang ingatan? Sudah gila yang itu orang?

Wanita tua yang baru saja mengatakan bahwa aku lupa ingatan itu keluar di temani seorang pengawal. Gadis yang ku ingat bernama Dewani duduk di sisi tempat tidurku sambil menenangkanku seolah-olah aku akan menggila sewaktu-waktu.

Semua orang mulai keluar dari kamat satu per satu.

"Mbak Astri istirahat saja sekarang." Dewani mengelus punggungku lalu keluar bersama yang lain. Tinggal Cindhe yang masih berdiri di pojok kamar.

"Ada hal lain yang Ndoro Ajeng butuhkan?" Suaranya lembut dan begitu tenang. Ia berjalan mendekati kasur.

Aku hanya butuh pulang. Benar-benar pulang.

"Ya, tentu." Aku tersenyum dan bangun dari kasur, "Tolong bantu sisirkan rambutku." Aku mengibaskan rambut panjang Danastri yang mulai kering.

Di dekat jendela, ada sebuah meja rias lengkap dengan cermin, kotak perhiasan, sisir dan berbagai alat 'kecantikan' lainnya. Cindhe menyiapkan kursi untuk aku duduk.

Jika aku tidak bisa pulang sekarang juga, artinya aku harus beradaptasi di tempat gila ini. Terlalu banyak orang untuk aku kenal dari nol yang seharusnya aku sudah sangat mengenalnya.

"Kamu ingat apa yang tabib itu katakan tentang aku?" Aku melihat Cindhe melalui cermin.

"Ndoro Ajeng lupa ingatan."

"Jadi bisa ceritakan tentang ayah dan ibuku?" Tanyaku dengan hati-hati.

"Paduka Karkasa dan Nyai Kinasih adalah orangtua yang sangat sayang keempat putrinya, majikan yang begitu baik pada semua pekerjanya, dan pemimpin yang begitu dicintai rakyatnya." Cindhe berbicara dengan senyum dan mata berbinar. Seperti ia mengucapkannya begitu tulus.

"Bagaimana dengan saudari-saudariku?" Wajahnya berubah menjadi tenang kembali.

"Ndoro Dewani adik yang manis dan penurut, Ndoro Datyani kakak tertua yang bersikap bagaimana seorang lebih tua bersikap, Ndoro Denurtri lebih pendiam dan tertutup."

"Tertutup?" Aku coba mengingat mana yang namanya Denurtri. "Dia terlihat begitu dekat dengan Datyani?"

Cindhe terlihat kaget mendengarnya. Apa yang salah? Apa seharusnya aku memanggil mereka menggunakan embel-embel lainnya juga?

"Ndoro Ajeng biasa memanggil mbak Yani dan mbak Denur"

Benar, kan?

"Kenapa kamu menyebut nama mereka tetapi tidak menyebut namaku?" Aku mengibaskan rambutku sebelum mengikatnya dengan sebuah pita. Cindhe meletakkan sisir di meja lalu beringsut duduk di lantai.

Gadis ini tersenyum sebelu menjawab, "Karena saya pelayan Ndoro Ayu."

Aku asumsikan bahwa yang lain punya pelayan mereka sendiri. Otakku kembali mengingat orang penting mana lagi yang harus aku ketahui. "Lalu, tadi ayah memintaku mengembalikan baju pada siapa?"

"Ndoro Mas Astaka."

SIAPA LAGI ITU?

"Sahabat Ndoro Ayu."

THE ONE AND ONLY SAHABAT SEHIDUP SEMATI SEJIWA GUA HANYA RUBY!

The Past Keeper : Maliaza AmbaraningdyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang