Orang itu bangun berdiri dan berjalan cepat mendekatiku. Satu yang aku takutkan jika aku tiba-tiba berlari keluar dia akan mengejar dan menyerangku dari belakang. Aku melangkah mundur ketika ia maju mendekatiku.
Postur tubuhnya kecil dan tidak terlalu tinggi. Ia mengenakan celana hitam selutut, bertelanjang dada dan selendang hijau yang menutupi seluruh kepala dan wajahnya kecuali mata. Tangan kirinya memegang pisau dan tangan kanannya tersimpan di balik tubuh.
"Sssshh. Gadis baik diam, jangan teriak." Tanganya yang memegang pisau terangkat ke depan wajah dengan satu jari terangkat menyuruhku untuk diam.
"Sorry?" Aku panik, diam dan tidak mampu menggerakkan kakiku.
Orang itu sudah tepat di hadapanku beserta dengan pisau di genggamannya. Aku diam, tidak bisa melakukan apapun dan hanya memeluk erat Sunah di dadaku. Dia menempelkan pisaunya di pipi kananku. Bau tubuhnya cukup menyengat sampai di hidungku. Bau matahari bercampur debu kering.
"Kau tahu saya dibayar mahal untuk melukaimu, Ndok?"
"Ayah akan membunuhmu."
"Tidak, Cantik. Seseorang akan melindungiku." Tangan lainnya terangkat mengelus pipi kiri hingga keningku. Membuatku merasakan bahwa mataku sudah mulai basah. Aku ketakutan.
Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika pintu kamar yang tidak tertutup rapat tidak didobrak hingga membentur tembok. Orang asing di hadapanku kaget hingga mundur dua langkah. Sepersekian detik, Yugala berdiri di hadapanku, menghalangiku dan orang itu.
Orang itu menggeram kesal lalu berlari menerjang dengan pisau di tangannya. Yugala mendorongku ke belakang hingga membentur tempat tidur. Pisau yang dibawa orang itu hampir mengenai lengan Yugala, tapi lelaki itu lebih sigap menghindar. Yugala menangkap lengan yang memegang pisau memelintirnya hingga pisau itu melukai lengan atas lainnya dan membanting pria itu telungkup ke lantai.
Pria itu meringis, mencoba meraih pisaunya yang terlempar, tapi Yugala menarik lengannya yang lain sambil menginjak sebelah kakinya. Sebuah teriakan perintah dari luar kamar membuat pria asing itu kaget dan menghentak lengan dan kakinya yang ditahan Yugala hingga terlepas. Ia bisa meraih pisaunya tadi dan berlari melompati jendela keluar kamar menuju taman di samping kamarku. Satu lagi teriakan perintah untuk mengejar diteriakan dari luar kamarku.
Yugala berbalik ke arahku dan bertanya apakah orang tadi melukaiku, apakah aku baik-baik saja, apakah aku terluka. Aku yang masih kaget karena sesuatu yang tadi terjadi cukup cepat, hanya memandangnya bingung.
"Yugala?"
Kami sama-sama menoleh. Lawana berdiri di pintu kamarku. Dia yang dari tadi meneriakan perintah-perintah untuk mengepung dan mengejar.
"Panglima Besar." Yugala berbalik dan berdiri tegap di hadapan Lawana sementara aku bersembunyi di balik tubuh Yugala. Meskipun dalam keadaan seperti ini, pandangan dan aura Lawana masih terasa membenci Danastri dengan segenap hatinya.
Setelah memastikan keadaan di luar aman, Yugala dan Lawana membawaku ke ruang duduk dekat kamar. Orang pertama yang aku lihat saat keluar kamar adalah Giyarto. Aku memintanya mencari Cindhe karena seharusnya jam segini dia sudah ada di kamar menyalakan penerangan dan wewangian.
Aku sudah duduk di ruang duduk dikelilingi pengawal dan beberapa pelayan yang membawakan minum ketika Cindhe datang terburu-buru lalu berlutut di sampingku. Dia membawakan piring berisi ikan untuk makan Sunah.
"Ndoro Ayu, tidak apa-apa?"
Justru aku yang harusnya kaget, takut kalau dia sudah terlanjur ada di dalam kamar ketika orang itu masuk. Aku hampir berpikir yang tidak-tidak saat melihat hanya ada Sunah di dalam kamar sampai aku meminta seseorang untuk mengecek kamar mandiku. Berharap tidak menemukan tubuh Cindhe di dalam sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Keeper : Maliaza Ambaraningdyah
Fiksi SejarahNOTE// Cerita ini murni fiksi dan khayalan saya. Tidak bermaksud menyinggung kalangan manapun. Satu lukisan menarik perhatianku. Itu hanya lukisan hitam putih yang terlihat sangat tua berbingkai cokelat kayu, sederhana dengan seorang gadis yang meng...