#29

283 34 5
                                    

Another bit longer chapter


Moodku hancur saat sampai rumah. Semurahan aku memikirkan tentang Danastri dan Astaka segalanya menjadi terlihat buruk di hadapanku. Endrasuta yang berniat membantuku turun dari dokar sebelum Astaka sempat turun dari Banu aku tolak dengan kasar dengan alasan tangannya kotor. Pelayan yang berpapasan denganku membawa piring berisi buah potong dari dapur menuju ruang membatik aku hentikan karena tidak menutup piring buah dengan benar. Paman yang menyapu di taman samping kamarku sempat aku semprot karena sisa daun dan ranting yang dipotongnya masih berserakan di taman.

Aku membuka pintu kamar dengan kasar dan hampir membantingnya jika Astaka tidak menahan pintu. Mulutku terbuka ingin mengomel supaya Astaka meninggalkanku sendirian. Mulutku terkatup kembali ketika Astaka berjalan melewatiku begitu saja. Ia berada di ruang melukis, memastikan bahwa ruang lukis aman lalu membuka pintu kamar mandi.

"Kau ingin saya keluar, kan?" Astaka berdiri di depan pintu kamar mandi yang sudah terbuka. "Biarkan saya periksa dulu kamar ini."

Aku diam tidak menanggapi Astaka dan memilih langsung rebahan di kasur. Kain ungu di ujung tempat tidur aku tarik hingga menutupi setengah kepalaku. Tidak berapa lama kemudian terdengar pintu kamar mandi ditutup. Aku pura-pura tidak tahu Astaka berjalan mendekati tempat tidur hingga duduk di belakangku.

"Saya tidak tahu kau kenapa, Al." Tangan besar Astaka membelai kepalaku pelan-pelan. "Saya kembali menjelang makan malam, ya. Yugala mengajak memeriksa orang-orang yang dicurigai kemungkinan mencelakai Danastri." Astaka menurunkan sedikit kain ungu dari kepalaku lalu mencium pelipisku.

Danastri lagi, Danastri lagi.

Kain ungu yang menutupi tubuhku aku lempar ke lantai. Sekarang aku sendirian di dalam kamar. Satu-satunya cahaya berasal dari jendela di ruang lukis yang dibiarkan terbuka. Seketika aku merasa perasaan tidak nyaman. Aku ingin pulang. Aku ingin pulang.

Aku duduk di kasur dengan perasaan kesal dan marah. Marah hanya karena Astaka menjalankan tugasnya. Aku sebagai Alia tidak punya hak apapun untuk marah. Aku sebagai Alia bukan siapa-siapa di sini.


Menjelang gelap aku terbangun karena wewangian yang dibakar Cindhe. Aku duduk diam di atas kasur menyaksikan Cindhe membakar wewangian dan menyalakan lampu minyak. Sunah ada di pojok kamar memakan ikan yang mungkin dibawakan Cindhe dari dapur.

Beberapa menit kemudian Cindhe sadar kalau aku sudah bangun. "Ndoro mau minum?" Cindhe membiarkan pelayan lain yang tidak aku ingat namanya melajutkan untuk menyalakan lampu minyak dan lilin.

"Terima kasih." Aku menerima cangkir yang diulurkan oleh Cindhe. Air dari dalam teko kendi di atas meja terasa dingin mengalir di kerongkonganku. Aku menghabiskan air di dalam cangkir dalam tiga kali teguk. "Makan malam masih lama, Cindhe?"

"Masih lumayan lama, Ndoro." Cindhe mengambil kembali cangkir yang sudah kosong dari tanganku. "Ndoro sudah lapar? Mau saya ambilkan buah?"

Aku menggeleng sambil bangun dari tempat tidur, berjalan menuju tengah ruangan dan duduk di kursi panjang. Sunah naik ke pangkuanku ketika aku meluruskan kaki ke atas meja. Beberapa menit kemudian pelayan yang membantu Cindhe menyalakan lampu pamit ke luar.

"Ndoro terlihat lelah sekali saat saya masuk kamar. Mau saya pijit kakinya?" Cindhe duduk di lantai di bawah kursiku.

"Tidak perlu Cindhe." Aku menghentakkan kakiku yang mulai disentuh Cindhe. Nyawaku belum terkumpul sepenuhnya. Habis bangun dadaku terasa sesak, masih ada sisa rasa kesal dan marah. Aku hanya perlu makan. Aku lapar.

The Past Keeper : Maliaza AmbaraningdyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang