Pagiku hari ini tidak begitu baik, masa bodoh dengan image Danastri yang rusak dalam semalam karena kelakuanku. Kaki Danastri membawaku ketempat yang belum pernah aku datangi, sebuah kandang kuda.
Setelah tadi pagi bertengkar dengan Datyani, menjahili Lawana hingga ia terlihat ingin membunuhku, mengacau di tempat pencucian, dan kabur dari pelajaran, aku memutuskan untuk menjauh dari semua orang dan berpikir akan membuat suatu keributan lagi. Semacam bentuk pemberontakan sebagai Danastri.
Di depan kandang kuda, ada sebuah pohon besar yang rindang dengan dua ekor kuda terikat, seekor warna cokelat gelap dan seekor warna cokelat terang. Aku menghampiri kedua kuda itu dan mengusap kepalanya.
"Hai." Kuda cokelat terang itu tampak cantik dengan mata berbinar dan kelopak mata yang lentik.
Mengingat lapangan tempat kemarin para prajurit latihan kosong, mucul ide menyenangkan dalam kepalaku. Aku melihat sekelilingku memastikan bahwa tidak ada orang di sekitarku lalu melepaskan tali dari lehernya dan membawanya pergi.
Lapangan yang aku maksud masih kosong seperti yang aku perkirakan. Kuda di sampingku membungkuk memintaku naik ke atas punggungnya. Aku tersenyum dan mengelus kepalanya.
"Good girl."
Kuda ini berlari mengitari lapangan. Sekilas, aku melihat beberapa orang berhenti, memandangku aneh dan tidak percaya. Apa Danastri benar-benar tidak pernah melakukan hal gila sedikitpun?
Aku membuat kuda ini berhenti mendadak ketika mendengar sebuah teriakan. Ayah, Ibu, Astaka, dan beberapa orang lainnya berjalan ke tempat aku berhenti. Suara teriakan tadi jelas suara ibu, ia memasang wajah kesal yang siap meledak. Ayah malah lebih terlihat bangga dilengkapi dengan senyuman. Sisanya kebingungan.
"APA YANG KAU LAKUKAN?!"
Selow aja, bu. Jangan ngegas.
Aku hanya menunduk sambil menahan senyum ketika ibu sampai di sampingku.
"Tidak apa-apa, Kinasih." Ayah menepuk pundakku dengan bangga. Aku mengangkat kepalaku dan tersenyum padanya.
"Danastri meninggalkan pelajaran untuk berkuda." Ibu masih terlihat marah walau ayah menanggapinya dengan senyum. "Dia tidak boleh berkuda, memanah, bermain pedang, bela diri, atau kegiatan lainnya yang tidak sesuai."
Aduh mampus gua.
Aku refleks memutar bola mataku mendengar penurutan Nyai Ratu satu ini. "Iya, maaf."
"Kemana kau pagi ini, sampai tidak sempat menengok Ndoro Ayumu?" Ibu beralih pada Astaka.
"Kinasih ini bukan salah Astaka." Ayah merangkul bahu ibu untuk menenangkannya. "Danastri juga tidak salah."
"Apanya yang tidak salah?" Ibu jelas terlihat masih ingin melampiaskan amarahnya.
"Semuanya bubar!" Ayah berteriak, memerintahkan semua pegawai untuk kembali pada tugasnya masing-masing. "Kau bersama Astaka, ya?"
Aku mengangguk seadanya lalu beralih pada Astaka ketika ayah mulai mengajak ibu pergi. Astaka mengambil alih tali kuda yang aku genggam. Ada kilatan marah dan lelah di mata gelapnya.
"Maaf."
Lelaki ini tidak mengatakan apapun. Ia hanya menarik pelan lenganku untuk berjalan mengikutinya hingga sampai di depan kandang kuda. Astaka kembali mengikat tali kuda ke pohon bersama kuda satunya.
"Tunggu di sini, Ambar."
"Apa?"
"Kuda ini namanya Ambar." Jawab Astaka sebelum berlalu meninggalkan aku bersama dua kuda yang terikat di pohon.
![](https://img.wattpad.com/cover/312350835-288-k16108.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Keeper : Maliaza Ambaraningdyah
Fiksi SejarahNOTE// Cerita ini murni fiksi dan khayalan saya. Tidak bermaksud menyinggung kalangan manapun. Satu lukisan menarik perhatianku. Itu hanya lukisan hitam putih yang terlihat sangat tua berbingkai cokelat kayu, sederhana dengan seorang gadis yang meng...