Perasaanku tidak yakin setiap melihat Datyani dan Denurtri. Mereka terlihat tidak suka padaku. Tidak. Bukan padaku, tapi pada Danastri. Aku yakin mereka sengaja menyenggolku saat kembali dari ruang makan. Satu decihan keluar tepat saat mereka lewat di sampingku.
Terutama Datyani. Wanita itu terlihat ingin membunuh Danastri hanya dengan tatapan matanya. Bagaimana aku bisa menggantikan Danastri untuk posisi itu? Apakah Danastri sadar bahwa kakak tertuanya terlihat ingin membunuhnya? Haruskah aku berbuat sesuatu? Meninggalkan surat wasiat jika suatu malam Danastri ditemukan tewas mengenaskan di kamarnya, maka tuduhan pertama harus jatuh pada Datyani.
.
Saat malam, aku meminta Cindhe membiarkan tiga lilin di pojok sana menyala, kasur tempatku berbaring jelas tidak sempuk dan senyaman kasur ku dirumah, bahkan rasanya jok mobil ayah jauh lebih nyaman dari ini, setidaknya ini lebih baik dari pada lantai.
Aku rindu smartphoneku, aku rindu laptopku, aku rindu kamarku, aku rindu kasurku. Tadinya aku berpikir hanya akan menghabiskan waktu seminggu di tempat terpencil yang masih jauh dari peradaban –Jehan yang mengatakannya. Tapi jika ditambah aku harus terjebak di sini, berapa lama waktu yang aku butuhkan untuk pulang.
Aku menghela napas kesal lalu bangun dari tempat tidur. Aku berjalan menuju pintu dan membuka salah satu pintu kayu itu.
"AAAHK!" Jantungku hampir berhenti berdetak ketika ada dua penjaga yang lewat di depan kamarku.
"Maaf Ndoro Danastri." Mereka membungkuk di hadapanku. "Apa ada yang bisa kami bantu?"
Aku menggeleng menjawab mereka, "Kembali bekerja."
Setelah memastikan mereka pergi, aku pergi ke taman di sebelah kamarku. Ada tempat duduk di samping kolam ikan. Aku langsung tahu ini batu saat pertama mendudukinya.
Cahaya rembulan terasa tepat di atas kepalaku. Ujung pohon cemara yang tumbuh melebihi atap berkilauan terkena cahaya bulan. Cemara itu terlihat begitu tinggi karena tumbuh melebih atap, berbeda dengan cemara lainnya.
Aku memandangi ikan koi yang bergerak di dalam kolam, warnanya sama seperti bunga-bunga yang tumbuh di sekitanya. Beragam. Kakiku terulur untuk masuk ke dalam kolam. Rasa dinginnya langsung menyerang seluruh saraf tubuhku.
Ada orang?
Aku menoleh ke arah cemara di pojok sana, di dekat jendela kamarku yang tertutup. Ya, aku yakin ada orang di sana. Sepertinya aku harus mulai terbiasa dengan banyak penjaga yang selalu berkeliling. Tapi aku tetap tidak akan siap karena mereka tetap saja orang asing.
"Permisi?" Seorang keluar dari sana.
"RUBY?!" Aku berteriak lalu berlari memeluknya. "Ruby ayo kita pulang."
"Tuan Putri?"
WHAT!!!
Perlahan aku lepas pelukkanku dan mulai mengamatinya dari ujung rambutnya hingga ujung kaki. Rambutnya agak lebih panjang dari rambut Ruby, pakaiannya jelas bukan style Ruby. Selebihnya, tidak ada celah bahwa aku salah.
"Siapa Ruby?" Lelaki ini mengangkat alisnya bertanya.
Mati, gua.
Aku berbalik tidak menanggapi lelaki ini dan kembali duduk di tempat tadi. Ini bukan pertama kali salah orang, tapi jika salah orang di zaman yang berbeda malunya berlipat ganda.
"Paduka Karkasa sudah mengatakannya pada saya bahwa Tuan Putri lupa ingatan karena terjatuh."
Aku kaget ketika lelaki ini berlutut di hadapanku seperti para pengawal lainnya. Dari cara berpakainnya, ia terlihat sangat berbeda dengan pengawal lainnya. Dia mengenakan celana hitam yang lebih bagus dari pengawal lainnya, kain batik di pinggangnya terlihat seperti koleksi milik mamihku yang menghabiskan banyak uang untuk membelinya, dan pedangnya terlihat lebih mengkilap dari milik pengawal lainnya.
"Ya?"
"Maaf karena saya tidak bisa menjaga Tuan Putri." Matanya menunjukkan penyesalan dan permohonan maaf.
"Kenapa harus minta maaf?"
Lelaki ini terseyum sambil mendenguskan tawa. Bahkan tawanya terdengar begitu sama dengan lelaki yang aku telepon sebelum tidur.
"Saya pengawal Tuan Putri." Logat dan cara bahasanya agak berbeda dengan yang lainnya. Cara dia memanggilku tidak seperti pelayan dan pengawal lainnya.
"Oh ya? Pengawal pribadi?"
"Iya." Lelaki ini mengangguk menjawabku. "Kenapa Tuan Putri di sini?"
"Hanya tidak bisa tidur." Aku masih memandangnya hati-hati. Memastikan bahwa ia benar-benar bukan Ruby.
"Sudah terlalu larut, mari saya antar ke kamar." Ia bangun dari berlututnya.
"Ah?" Tangannya terulur ke hadapanku. Aku hanya memandangi tangan itu hingga aku berdiri tanpa menyentuhnya. "Oke."
Kenapa aku harus percaya manusia ini memasuki kamarku? Aku berdiri tidak jauh dari pintu saat ia masuk menyusuri kamarku. Lelaki ini memastikan bahwa kamarku baik-baik saja dan tidak ada yang dapat mengancam keselamatanku.
Aku mengangkat alisku ketika ia berbalik menghadapku. "Apa?"
"Apa Cindhe lupa mematikan lilinnya?"
Aku menoleh ke arah lilin yang menyala di pojok dekat kamar mandi. "Oh, aku memintanya untuk membiarkan lilin itu menyala."
Samar-samar aku dapat melihatnya tersenyum sebelum berkata, "Baiklah."
Aku menyingkir ketika lelaki itu berjalan mendekati pintu. Dia keluar dari kamar dan berdiri di tengah lorong. Obor-obor yang menyala terang di sepanjang lorong membuatku melihat satu bekas luka di lengan kirinya. Bekas luka sayatan panjang di lengan atas hingga sedikit melebihi sikutnya.
"Tuan Putri bisa panggil saya jika ada masalah." Ia berbalik memunggungi kamarku dan berdiri tegap.
"Panggil?"
Gua bahkan gak tahu nama situ siapa, pak.
"Astaka."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Keeper : Maliaza Ambaraningdyah
Исторические романыNOTE// Cerita ini murni fiksi dan khayalan saya. Tidak bermaksud menyinggung kalangan manapun. Satu lukisan menarik perhatianku. Itu hanya lukisan hitam putih yang terlihat sangat tua berbingkai cokelat kayu, sederhana dengan seorang gadis yang meng...