Aku duduk di taman samping kamarku, memakan buah-buahan yang dibawakan Cindhe sambil membelai-belai Sunah di pangkuanku. Safield dan Parwoko datang menghampiriku. Pemuda itu sekali lagi datang dengan langkah ceria dan bersemangat serta bunga di genggamannya.
Senyumku menyambutnya yang duduk di sebelahku sedangkan Parwoko di kursi seberang. Safield memberikan bunga di tangannya padaku.
"Terima kasih."
"Danastri." Tiba-tiba suaranya berubah lirih. "Kau mau menungguku, kan?"
"Kenapa?"
"Saya harus pergi membeli-" Safield diam mencari kata-kata yang tepat. "-hal lainnya in the next island. Tapi nanti saya kembali."
DUARR!!!
Aku tidak dipersiapkan untuk satu perubahan lainnya yang harus aku hadapi. Rencanaku memang untuk tetap hidup, tapi aku tidak pernah berpikir bahwa banyak hal lain yang harus aku hadapi.
"Kapan kamu pergi?" Tanyaku.
"Tonight." Jawab Safield pelan.
Benarkah begini jalan ceritanya? Benarkah perkiraanku bahwa Danastri akan berakhir dengan Safield? Apa ada jalan lain di masa depan? Mungkin anak Datyani atau Denurtri menikah dengan Dussel lain yang akan datang?
Ataukah Safield akan benar-benar kembali untukku? Untuk Danastri?
Aku bingung harus menanggapinya seperti apa.
"Berapa lama?"
Safield mengangkat bahu. "Danastri, saya berpikir how if you come with me? Let's go out of here."
Mataku membulat mendengar ajakan Safield.
"Safield, no." Parwoko berbisik.
Ingatanku langsung tertuju pada perkataan paman Purwanka beberapa malam lalu. Aku teringat isi surat dari penyusup yang bunuh diri. Aku teringat segala hal yang terjadi padaku di sini. Aku ingat bagaimana Datyani ingin aku pergi jauh dari rumah.
Apakah ini kesempatan yang dikatakan paman Purwanka? Kesempatan untuk aku pergi jauh dari rumah.
Tidak bisa. Tentu saja ini tidak bisa. Semua ini terlalu mendadak. Dan bukan Safield aku ingin bersama. Safield bukan orang yang aku inginkan. Aku bukan orang yang Safield dambakan. Aku bukan takdir Safield.
Tangan kananku meraba pergelangan kiri. Pergelangan ada gelang yang Astaka belikan di pasar.
Aku tersenyum pada Safield sebelum mengatakan, "Tunggu sebentar."
Aku bangun dan berlari masuk ke dalam kamar. Di atas meja rias ada keranjang kecil berisi pita-pita kain untuk ikat rambut. Aku mengambil pita hitam dengan motif kelopak bunga putih dari atas meja. Pita yang paling sering Cindhe gunakan untuk mengikat kepanganku.
Aku kembali duduk di samping Safield. Pita hitam di tangan aku tunjukkan padanya.
"Kamu selalu membawakanku bunga. Kamu berikan aku bros yang sangat cantik. Kamu membuatku mencoba makanan baru." Aku duduk menyamping menghadap Safield. "Aku tidak punya banyak teman di sini. Kamu datang dan membuatku merasakan mempunyai teman. Merasakan hal-hal yang belum pernah aku rasakan."
Safield diam mendengarkanku dan mungkin akan meminta Parwoko menerjemahkannya nanti.
"Kamu mungkin memiliki segalanya, Safield. Tidak ada yang bisa aku berikan untuk membalas apa yang kamu berikan padaku."
Safield menggeleng pelan.
"Mungkin kamu bisa simpan ini." Kataku sambil memberikan pita hitam di tanganku.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Keeper : Maliaza Ambaraningdyah
Ficção HistóricaNOTE// Cerita ini murni fiksi dan khayalan saya. Tidak bermaksud menyinggung kalangan manapun. Satu lukisan menarik perhatianku. Itu hanya lukisan hitam putih yang terlihat sangat tua berbingkai cokelat kayu, sederhana dengan seorang gadis yang meng...