#73

273 24 2
                                    

Aku menangis. Tidak tahu kenapa aku harus menangis. Rasa kerinduan yang begitu besar tiba-tiba memuncak di dadaku.

Astaka.

Bisakah aku kembali. Sekali lagi. Sekali saja. Semuanya terjadi terlalu tiba-tiba. Mendadak. Kalimat terakhir yang Astaka ucapkan adalah memintaku untuk lari dan jangan berhenti melawan. Kalimat terakhirku adalah bahwa aku mencintainya.

Dalam kertas itu tidak ditulisnya anggota keluarga manapun. Tidak disebutnya Lawana, Batara, dan Lingga. Jika melihat bagaimana hancurnya rumah, aku cukup terkejut Endrasuta bertahan, tapi Batara? Jika mengetahui Astaka bisa pulih dan pergi dari rumah, Lawana bisa aku bayangkan nasibnya.

Aku kembali meletakkan kertas ke dalam kotak, lalu kotak bros dan anting. Belati aku peluk di dadaku masih terus menangis.

Sekali saja. Sekali saja aku ingin kembali dan memeluknya. Mengatakan kalau dia juga harus terus hidup dan menemukan bahagianya sendiri.


Satu jam setelah menangisi hal yang sebenarnya tidak bisa juga aku dapatkan kembali. Otak rasionalku mengatakan kalau aku harus bangun dan bertingkah seolah tidak ada hal yang salah terjadi. Mereka seharusnya hanya leluhurmu yang tidak pernah kau temui dan kau kenal. Kenapa juga kau harus menangisi mereka?

Tidakkah orang-orang tahu apa yang pernah terjadi di rumah ini dulu sekali? Berapa banyak darah yang tumpah dan orang mati di sini?


.

Pagi ini aku memutuskan untuk bermain bulu tangkis di lapangan depan bersama Papih, Mef, dan Ivan. Aku di satu sisi bersama papih sedangkan Mef dan Ivan di seberang.

Kami bersenang-senang. Mefiana yang sebenarnya atlet renang banyak kecolongan hingga berkali-kali Ivan berteriak padanya.

"Woooo!" Orang-orang yang menonton di pinggir lapangan atau di depan rumah bersorak ketika aku dan papih menang.

Papih melempar raketnya dan selebrasi seolah kami adalah atlit nasional yang menang olimpade. Ia menarik dan memelukku, mengajakku melompat-lompat.

Kamran Irawan Dussel, papihku adalah adalah orang yang bersahabat, heboh, senang bersenang-senang. Papih bukan orang yang bergengsi tinggi untuk menunjukan kasih sayangnya. Laki-laki yang mementingkan keluarga di atas segalanya.

Aku memberikan raketku pada Jehan. Sementara yang lain duduk-duduk di teras dan menikmati hidangan, aku berbelok dan jalan menjauhi rumah. Aku menuju sawah yang ada gubuk dan batu besar di tengahnya.

Matahari sudah cukup terik. Aku duduk di gubuk sendirian. Memandangi orang-orang yang bekerja di sawah dari jauh. Smartphone di tangan aku putar-putar, menimbang-nimbang apakah aku harus menghubungi Ruby. Aku sama sekali belum menghubunginya sejak kemarin. Kemungkinan dia masih berlibur di peternakan kuda milik om Erwin.

Aku menikmati waktu di sini beberapa saat. Menikmati angin yang berhembus.

Ini tentu bukan lagi gubuk yang waktu itu aku duduki bersama Astaka dan Cindhe. Mungkin sudah ubah dan dibangun ulang puluhan atau ratusan kali. Tapi aku pernah ada di spot ini bersama mereka.

Di spot inilah Astaka melukisku. Di spot inilah aku meminta Astaka mengajari CIndhe.

TIN!

Aku menoleh dan mendapati motor Dimas berhenti di pinggir jalan. Anak ini sudah tidak pulang dari kemarin.

TIN!

"Iya." Aku bergumam pelan dan berjalan melalui pematang menuju motor Dimas.

"Ngapain dari kemarin tidak pulang?" Tanyaku saat sampai di sampingnya.

The Past Keeper : Maliaza AmbaraningdyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang