Matahari hampir turun ketika aku dan Astaka kembali ke istana. Matahari terasa silau dan menyengat walau tidak dibarengi dengan hawa panas.
Astaka mengajakku masuk melalui gerbang lain istana yang mengarah langsung menuju tempat cuci dan jemur kain. Gerbang ini hanya tunggu 3 penjaga saja, lebih sepi dan tersembunyi dari 3 gerbang lainnya.
Aku meloncat turun dari Ambar dan berlari menghampiri Cindhe yang sedang mencuci kainku.
"Cindhe."
Semua pelayan yang ada di sana kaget bukan main ketika aku duduk dan bergabung bersama mereka. Aku tersenyum sebaik mungkin membawa perdamaian bahwa aku tidak bermaksud mengacau.
"Ndoro dari mana? Kenapa basah?" Cindhe menarikku menjauh dari tempat cuci.
"Mereka tidak suka padaku?" Aku beralih memandang para pelayan yang sedang mencuci.
"Bukan." Cindhe menggeleng dan tersenyum tipis, "Mereka hanya kaget tiba-tiba Ndoro Ajeng ada disini."
"Aha?"
"Ndoro Ajeng dari mana?" Cindhe kembali mengulang pertanyaanya.
"Dari sungai." Astaka menjawab pertanyaan Cindhe bahkan sebelum aku sempat membuka mulut. Sehelai kain hitam dan merah yang ada di keranjang bersih Astaka ambil dan ia sampirkan di bahuku. "Ganti pakaianmu terlebih dahulu, Danastri."
"Oke."
Aku berjalan mengikuti Astaka pergi dari tempat itu. Kami memutari bangunan samping hingga sampai di tempat aku menemukan Ambar. Aku menunggu Astaka mengikat Ambar dan Banu di pohon.
Bagian dalam istana terasa lebih sepi dari para pengawal, penjaga, pelayan, dan beberapa staf lain yang biasanya berlalu-lalang. Saat melewati ruang belajar, aku berhenti dan membuka pintu kayunya. Kosong, tidak ada siapapun di dalam sana.
"Astaka, kenapa sepi?"
"Kau dengar itu?" Astaka menarikku mendekat. Samar-samar, ada suara ribut dari gerbang utama istana.
"Ayo kita lihat." Aku sudah bersemangat ingin lihat siapa lagi yang membuat keributan di sini kecuali aku, tapi lelaki di belakangku menarikku ke arah lain. "Apa?"
"Tunggu bersama yang lain, biar saya yang lihat."
Aku menghentakkan tanganku hingga terlepas dari genggamannya. "Gua juga mau lihat kali."
Di luar gerbang utama, banyak warga berkumpul sambil meneriakkan suatu kata-kata yang tidak bisa aku tangkap apa maksudnya. Mereka terlihat membawa hasil panen, peralatan bertani, dan beberapa hewan ternak.
Beberapa penjaga menghadang mereka di depan gerbang dan beberapa lagi berjaga di depan pintu istana. Aku mengedarkan pandanganku mencari dimana Raja atau Ratu mereka berada, tapi aku melihat 3 orang petinggi kerajaan di luar sana sebagai perwakilan.
Dasar.
Aku membenarkan kain yang Astaka sampirkan di bahuku hingga menutupi dada. Setelah itu aku terobos pasukan yang berada di depan pintu hingga sampai di barisan paling depan disusul Astaka di belakangku. Kerumunan orang di luar sana berhenti berteriak ketika melihatku.
"Ndoro Danastri kenapa tidak bersama yang lain?" Tanya salah satu petinggi kerajaan yang jelas aku tidak kenal.
"Ada apa?"
"Mereka marah soal harga dan jumlah hasil panen, pembagian pupuk, pembagian bibit, dan pengiriman hasil."
Well, gua nggak ngerti apa maksudnya.
"Saya ingin dengar mereka yang bicara."
Salah satu penjaga menyampaikan maksudku pada kerumunan orang di luar dan mereka kembali saling berteriak.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Keeper : Maliaza Ambaraningdyah
Fiction HistoriqueNOTE// Cerita ini murni fiksi dan khayalan saya. Tidak bermaksud menyinggung kalangan manapun. Satu lukisan menarik perhatianku. Itu hanya lukisan hitam putih yang terlihat sangat tua berbingkai cokelat kayu, sederhana dengan seorang gadis yang meng...