#22

346 36 3
                                    

Hidupku semakin menggila ketika rombongan 'tamu-tamu' itu datang. Ditambah dengan adanya Parwoko atau entah siapa namanya itu. Bukan hanya Parwoko. Pemuda kulit putih itu juga. Safield Dussel.

Malam itu, saat makan malam dia mencoba berbicara padaku meski aku hanya menjawabnya dengan senyum dan anggukkan. Dia berbicara dengan bahasa yang seharusnya Danastri tidak mengerti. Safield masih berusaha menggunakan gerakan tangan dan tubuh supaya aku mengerti yang ia katakan. Tidak hanya saat itu, tapi hingga hari ini, setelah lebih dari seminggu mereka menetap.

Setiap berkunjung ke rumah, dia seperti sengaja mencariku. Menemaniku duduk di taman, di kandang kuda, di ruang belajar. Dia bercerita banyak hal yang seharusnya tidak dimengerti Danastri. Tentang masa kecilnya, kesehariannya, hobi, keluarga, dan banyak hal.

Cerita itu akan berakhir ketika Astaka datang dan membawaku pergi. Ceritanya selalu di akhiri dengan kalimat 'Aku tahu kau tidak mengerti yang ku katakan. Tapi aku tertarik padamu, aku ingin bicara denganmu. Tunggu aku, oke?'.

Hari ini dia datang lagi. Aku baru selesai memandikan Ambar setelah pelajaran Guru Besar Widyastika. Safield duduk di sampingku, membawakanku setangkai bunga sepatu. Aku tersenyum dan mengambil bunga dari tangannya. Setelah aku terima bunganya, Safield mengulurkan tangan kanannya padaku. Aku menatap tangan itu sebentar sebelum menyambutnya.

"Selamat siang. Perkenalkan nama saya Abraham Safield Dussel. Kau cantik hari ini."

"Jadi saya hanya cantik hari ini?" Tanyaku sambil menahan tawaku.

"No! Kau cantik setiap saat. Pagi, siang, sore, malam. Selalu."

"Sungguh?"

"Ya."

Aku melepas tawaku mendengar bagaimana caranya berbicara dengan bahasa. Safield menarik tangannya dariku dan beralih menutup wajah. Dia ikut tertawa dibalik tangannya yang masih menutupi seluruh wajahnya.

Ketika ia sudah berhenti tertawa dan melepas tangannya, aku dapat melihat semerah apa wajah putihnya. Masih dengan sisa tawanya ia berkata "I'm shocked that your laugh make me more fall in you than your smile."

Aku menghentikan tawaku ketika mendengarnya. Danastri sepertinya membuat pria ini begitu jatuh padanya. Melihat bagaimana ia sepertinya bersungguh-sungguh belajar bahasa demi berbicara dengan Danastri.

"I force Parwoko every night to teach me daily conversation just to talking to you." Senyumnya merekah lebar dan bangga.

"Parwoko yang mengajarimu?"

Safield terlihat diam dan berfikir sebentar sebelum menjawab. "Ya. Setiap malam." Jawabnya dengan senyum lebar.

Sadar perbincangan ini akan berakhir. Aku berkata satu kata lagi sebelum Astaka sampai di sampingku, "Semangat!"

"Apanya yang semangat?" Astaka datang bersama Banu. Berbicara dengan nada yang jelas terlihat bahwa ia tidak suka.

Aku tidak mengerti ada apa dengan dia dan Safield. Parwoko menjadi penengah mereka sampai harus memukul meja lalu memohon ampun berkali-kali sebelum menjelaskan kesalahpahaman yang terjadi. Sejak hari itu Astaka dan Safield terlihat seperti aku dan Datyani.

"Tidak ada." Jawab Safield singkat lalu mulai berjalan menjauh. Seperti paham tanpa harus di suruh bahwa jika Astaka ada, dia tidak boleh ada.

Astaka terlihat sedikit terkejut sebelum kembali memasang wajah normal. Setelah mengikat Banu di pohon yang sama dengan Ambar, ia duduk di sampingku. Di tempat Safield tadi duduk.

Pria ini baru selesai latihan. Tubuhnya berkeringat dan telapak tangannya memerah, bahkan keringat membasahi anak rambut hingga mengalir di pelipisnya. Rahang bawah sebelah kirinya terdapat memar yang baru aku lihat.

The Past Keeper : Maliaza AmbaraningdyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang