#17

380 45 4
                                    

Cindhe kaget ketika aku ikut duduk di lantai bersamanya untuk membantu melipat kain-kain. Awalnya gadis ini menolakku untuk membantunya, tapi aku tetap memaksanya hingga ia teralihkan saat aku mengajaknya berbicara tentang keluarga.

Cindhe punya keluarga yang tinggal di desa. Ayahnya adalah seorang buruh tani sedangkan ibunya terkadang membuat pernak-pernik dan menjualnya di pasar. Cindhe masih punya dua adik kecil dan ternyata kakaknya ada di sini, bekerja di dapur. Gadis ini terlihat sangat bahagia menceritakan keluarga.

"Kapan kau pulang untuk bertemu keluargamu?" Dia selalu ada di tempat ini menemaniku dan mengurus segala keperluanku.

"Terkadang saat malam saya pulang dan kembali ke sini esok pagi-pagi."

Aku tersenyum sambil mengangguk. "Bisa tolong kau siapkan bak mandiku?"

.

Bau bunga menguar di seluruh tubuhku selesai aku mandi. Sejak dua malam lalu, aku meminta Cindhe mengurangi bunga-bungaan yang dia masukan ke dalam bak mandiku. Aku tidak ingin mati sesak napas karena bunga-bunga.

Kamarku kosong saat aku selesai mandi, bahkan Sunah tidak ada. Sekarang aku tahu tempat favorit dia, kolam ikan. Aku selalu menemukan Sunah di pinggir kolam setiap pagi dan sore hari.

Saat aku duduk di depan cermin, aku sadar betapa tubuh Danastri bukanlah tubuhku, wajah yang sama dengan aksesoris berbeda. How lucky this girl. Wajahnya mulus tanpa jerawat, bekas jerawat, dan bersih dari luka. Satu hal yang baru aku sadari adalah Danastri memiliki tahi lalat yang sama denganku, di pipi kanan hampir mendekati hidung dan bibir.

I'm sorry girl, you don't deserve my wonderful eyes.

Aku meraih sisir dan mulai menyisir rambut panjang Danastri. Rambutnya hitam, panjang, dan mengkilap.

"Kemana Cindhe?"

"Kamar ini kosong saat aku selesai mandi." Aku tetap melanjutkan menyisir tanpa peduli Astaka masuk.

"Oh." Astaka merebut sisir dari tanganku, menggantikan menyisir rambutku.

Aku diam memandang Astaka dari cermin dan tersenyum ketika dia memandangku balik.

"Aku ingin lihat Alia seperti apa."

"Kau sedang melihatku, Astaka."

"Aku ingin lihat Alia, bukan Danastri." Senyumku hilang saat dia mengatakan hal itu.

Aku berdiri dan menarik Astaka ke hadapanku. "Lihat aku. Apa ini Danastri?"

Astaka serius melihatku sambil menyampirkan kedua tangannya di kedua bahuku. "Ya."

"Wajahku seperti Danastri. Bisa kau bayangkan?"

"Sungguh?"

"Alisku lebih tipis dari ini, kulitku lebih terang-" Tangan Astaka terangkat meraba alis hingga pipiku. Efek yang sama setiap dia menyentuhku. "Rambutku bergelombang dan sedikit melebihi bahu."

"Terdengar indah."

"Dan yang paling penting warna mataku biru."

"Seperti langit?"

Aku tertawa pelan sebelum menjawab, "Seperti laut." Tidak peduli tahu atau tidak dia dengan laut.

"Biru, gelap, dan dalam?"

"Ya, seperti itu." Aku berbisik tepat di depan bibir Astaka sebelum ia menyentuhku.

Alia TOLOL! Aku tidak mengabaikan sirine yang berbunyi keras dalam kepalaku. Kedua tanganku terangkat di depan dada untuk memisahkan aku dengan tubuhnya ketika Astaka menarikku semakin mendekat.

Aku tahu tidak sepenuhnya peduli dengan sirine itu ketika sadar bahwa aku membalas ciumannya.

"Ndoro Mas?"

Beruntung Astaka berdiri membelakangi pintu. Aku langsung menarik diriku darinya dan duduk kembali di depan cermin. Astaka bertingkah seolah baru saja selesai menyisir rambutku.

"Ada apa Cindhe?"

"Tamu-tamu itu datang besok malam?" Kata Cindhe sambil berjalan masuk membawa sepiring penuh potongan pepaya.

"Tahu dari siapa?" Astaka pergi sari sampingku, menghampiri Cindhe untuk merebut piring dari tangannya.

"Orang-orang di dapur sibuk menyiapkan jamuan."

"Jamuan apa? Tidak akan ada makanan yang cocok dengan lidah mereka." Aku menghampiri mereka berdua dan berhenti ketika melihat Cindhe membawa setumpuk kain berkilauan.

"Nyai Kinasih mau Ndoro Ajeng mengenakan ini besok." Kain batik coklat dan kebaya hitam dengan bordiran indah. Kain batik di tangan Cindhe terlihat lebih berkilauan dari kain-kain lain yang biasa aku kenakan.

"Should I?" Aku mengambil pakaian yang disodorkan Cindhe. "Oke." Mengembalikan padanya lalu berjalan menuju Astaka yang sudah duduk di kursi sambil memakan buah pepayaku. Manusia ini tidak bisa berlaku seenaknya setelah mencium gadis yang baru dia kenal beberapa hari.

"Cindhe?"

"Nggih?"

"Besok pagi bisa antar aku?" Tanyaku pada Cindhe yang sedang membereskan meja cerminku.

"Kemana?"

"Ke sawah." Jawabanku membuat Astaka berhenti makan dan memandang aku langsung. "Sawah yang kemarin aku datangi."

"Hm?" Cindhe berhenti dan terlihat bingung sambil sesekali melirik Astaka.

"Saya bisa antar Tuan Putri sebelum latihan."

Nggak maulah, bego. Gua gak mau sama lu.

"Saya tidak bisa bawa Ndoro Ajeng keluar tanpa Ndoro Mas."

Ah, taiq. Aku tersenyum miris lalu beralih pada Astaka. "Ke sawah yang ada saung, pohon, dan batu besarnya."

"Iya, besok pagi."

Kalau memang benar itu adalah sawah yang aku datangi sore sebelum 'malam itu', artinya jika aku terus mengikuti jalan adalah rumah keluargaku. Mungkin saja, kan? Mungkin saja di rumah itu ada portal untuk aku kembali pulang. Aku akan lakukan apapun untuk itu.

Yakin?

Aku mengangkat kepalaku, memandang Astaka yang masih sibuk menghabiskan pepaya di atas piring. Secara tiba-tiba, jantungku berdegup hingga membuat dadaku sakit. Ketika Astaka menyadari aku memandanginya, aku berusaha memasang wajah seolah-olah aku begitu membencinya.

"Ada apa, Al?"

ADA APA? Dia bertanya ADA APA?!

Aku raih bantal terdekat lalu melempar ke arahnya, "How I hate you."

The Past Keeper : Maliaza AmbaraningdyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang