Pagi ini aku sarapan dengan keributan yang tiba-tiba terjadi. Aku duduk bersama Datyani dan Denurtri di meja makan. Kata bibi Dasih Dewani sudah makan pagi-pagi sekali dan kembali ke ruang belajar.
Aku bertanya keributan apa yang terjadi dan kenapa semua orang tiba-tiba terlihat sibuk.
"Banyak warga desa yang tiba-tiba sakit. Mencret dan muntah-muntah. Semua tabib sibuk."
Kami mendengarkan bibi Dasih dengan kening berkerut.
"Kami takutkan dari makanan upacara kemarin karena Sura dan Mas Lasmana juga sakit." Kata bibi Dasih. "Kau tidak makan makanan kemarin, Ndok?"
Aku menggeleng. "Tidak sempat. Masih ada aku simpan di kamar."
"Jangan dimakan." Tegas bibi Dasih dan Denurtri bersamaan.
"Bagaimana bisa?" Tanya Datyani.
Bibi Dasih menggeleng.
Aku buru-buru menyelesaikan makanku ketika aku lihat Endrasuta berjaga dan menungguku di depan ruang makan. Buru-buru aku pamit dan keluar dari ruang makan untuk kembali ke kamar.
"Ndoro, Panglima ingin Ndoro diam di kamar saja jika tidak ada keperluan untuk keluar."
"Apa yang sebenarnya terjadi?" Endrasuta memaksaku berjalan lebih cepat meuju kamar.
"Saya tidak tahu apa yang terjadi di perbatas utara. Tapi yang pasti tidak ada hal baik yang terjadi."
"Seburuk itukah?"
Endrasuta berdiri di depan kamarku. "Saya seharusnya ada bersama Panglima Astaka, tapi Kang Mas lebih menginkan saya di sini."
Aku tersenyum. "Terima kasih." Kataku sebelum menutup pintu.
Aku duduk dengan gelisah di dalam kamar, memangku Sunah. Tidak tahu datang dari mana tapi rasanya ada hawa dingin di dalam kamarku. Aku merasakan perasaan khawatir yang begitu besar. Hawa dingin yang ada menambah perasaaku yang tidak nyaman
Pagi ini rumah mendadak sedikit sepi dengan suasana mencekam. Rumah tidak banyak pengawal yang berjaga dan pelayan yang berkeliaran saat aku sarapan tadi. Kepanikan yang terjadi pada orang-orang di rumah semakin memperkeruh suasana.
Jajanan pasar yang aku dapat kemarin masih ada di atas meja. Semoga Cindhe tidak mengambil dan memakannya. Makanan itu aku buang ke tempat sampah di dekat kamar mandi.
"Kalau buah mungkin tidak apa kali, ya?" Aku mengambil buah sawo pemberian pak Mardhi dan istrinya yang sudah Cindhe cuci.
Cindhe bersama satu pelayan lainnya membawa pakaian yang siap di masukan ke dalam lemari dan kendi air baru. Pelayan yang membawa kendi air pamit ke luar sementara Cindhe membereskan pakaian.
"Cindhe keluargamu baik-baik saja?" Tanyaku.
"Adik saya sakit, tapi yang lain baik-baik saja." Jawab Cindhe yang sedang duduk di depan lemari. "Ndoro, kata Giyarto pemberontakan itu semakin rusuh dan menyebar sampai ke desa barat?"
"Sungguh?"
Tanganku refleks meraih belati yang ada di atas meja dan aku genggam erat.
Kemarin siang adalah terakhir kali aku lihat Astaka. Saat makan malam Lawana dan Batara juga tidak ada di meja makan.
Aku diam di dalam kamar dalam keadaan tidak tenang. Dadaku tiba-tiba sakit karena menampung rasa khawatir dan takut. Hawa dingin melingkupi kamar dan keadaaan mencekam di seluruh rumah.
Dari tadi aku mendengar beberapa sahutan dari Yugala yang meminta orang-orang yang keluar kamar untuk tetap di dalam jika tidak ada keperluan. Keadaan semakin membuatku tidak nyaman ketika aku mendengar teriakan Denurtri pada Batara untuk bisa menahan Dewani tetap di dalam.
Setelah aku menguping, Dewani ingin mengunjungi temannya yang sakit. Setelah keributan yang terjadi, Dewani sepertinya berhasil diseret ke dalam kamar ditemani Denurtri. Aku menyaksikan semuanya dari jendela ruang lukis.
Lama aku berdiam diri di dalam kamar. Berjalan dari ujung kembali ke ujung lainnya. Berjalan memutari ruang lukis dan ruang tengah. Sedangkan Cindhe hanya duduk di lantai dekat meja sambil memandangiku yang tidak bisa tenang.
"Ndoro saya ambilkan makan, ya?" Kata Cindhe. "Ndoro belum makan siang."
Aku lapar.
"Ambilkan ubi saja seperti biasa."
Cindhe keluar dari kamar untuk mengambil makanan. Aku bahkan tidak sadar kalau hari sudah mulai sore.
Tidak berapa lama kemudian Cindhe masuk tergesa-gesa. Ia membawa piring berisi ubi dan jagung rebus.
"Di luar sepi sekali Ndoro. Tidak banyak yang berjaga." Kata Cindhe. "Pelayan yang tidak melayani siapapun diminta untuk diam di kamar bahkan sebagian dipulangkan. Apa yang lain menghalau pemberontak juga, ya?"
Penjelasan Cindhe membuatku semakin takut hingga perutku melilit. Tidak ada yang bisa aku lakukan untuk menghubungi Astaka. Aku tidak tahu dia dimana dan bagaimana keadaannya.
"Dimana Endrasuta?" Tanyaku.
"Mas Suta-" Cindhe terlihat berpikir. "-sepertinya Mas Suta ada bersama Ndoro Mas Yugala berjaga di gerbang samping."
"Apa yang harus dijaga dari gerbang samping?"
Cindhe menggeleng. "Semua gerbang dijaga ketat, Ndoro."
Apa pemberontakkan sudah semakin parah? Apa mereka mulai merambat ke sini? Masalah akan semakin bertambah karena warga desa timur sedang diserang penyakit.
Aku memakan ubi di tanganku tanpa minat. Hanya sekadar mengisi perut dan tenagaku yang habis.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Keeper : Maliaza Ambaraningdyah
Fiksi SejarahNOTE// Cerita ini murni fiksi dan khayalan saya. Tidak bermaksud menyinggung kalangan manapun. Satu lukisan menarik perhatianku. Itu hanya lukisan hitam putih yang terlihat sangat tua berbingkai cokelat kayu, sederhana dengan seorang gadis yang meng...