Aku berjalan cepat berusaha tidak menghasilkan suara dan berhenti beberapa langkah di depan orang asing itu. Orang yang tangan dan kakinya diikat ke belakang kepalanya di tutup kain hitam. Dia mengangkat kepala karena mungkin merasa ada orang di dekatnya.
Beberapa langkah di hadapannya, aku mengamati tubuhnya. Mencari sesuatu yang bisa aku ingat untuk menunjukan bahwa dia adalah orang yang hampir membunuhku kemarin. Air kotor yang disiramkan padanya tadi siang aku rasa sudah terbilas dengan air bersih. Lawana dan anak buahnya sudah menghajarnya sampai babak belur menyebabkan banyak lebam di tubuhnya.
"Sssst!" Aku berdiri dua langkah jauhnya, masih berusaha menjaga jarak lalu melepaskan kain hitam dari kepalanya. Matanya melebar begitu melihat aku ada di hadapannya. "Ssssst!" Tanganku terulur membekap mulutnya sebelum ia bisa berteriak atau membuat kebisingan.
Ia mengangguk pelan sebagai jawaban dan aku melepaskan tanganku.
"Orang itu bukan saya Ndoro Danastri."
Aku melihat ke lengan atas sebelah kananya. Ada beberapa luka di sana, tapi tidak ada luka goresan. Luka-luka terbuka bahkan terlihat sudah cukup lama dan tersisa bekas lebam.
"Siapa namamu?"
"Mardhi, Ndoro."
"Oke." Aku berbisik sambil menghembuskan napas. Bingung dan tidak tahu harus apa.
"Mereka menangkap orang yang salah."
Aku memutari tubuhnya hingga bisa menjangkau tali yang mengikat kedua tangannya. Ketika tali itu terlepas, ada bekas ikatan yang bisa membuat semua orang tahu kalau ikatan tadi cukup kencang dan dia berusaha melepaskannya hingga kulitnya tergores.
"Ndoro, tolong katakan kalau itu bukan saya."
"Ssssst!" Jariku terangkat ke depan mulutku memintanya untuk diam. "Aku tahu." Aku mengeluarkan ubi yang tadi aku bawa dari sisa makan malam lalu memberikan padanya. "Aku tidak bisa bawa minum."
Matanya melebar melihat apa yang aku ulurkan padanya. "Terima kasih, Ndoro."
Jantungku berdebar cukup cepat, takut membayangkan apa yang akan terjadi setelah mereka memergokiku ada di sini. Aku terus menoleh ke belakang memastikan bahwa Batara melakukan tugasnya dengan baik. Ikatan pada kakinya sengaja tidak aku lepas untuk membuatku merasa sedikit lebih aman. Pria di hadapanku memakan ubi yang aku bawakan dengan lahap.
"Siapa yang menangkapmu?" Tanyaku.
"Panglima Lawana dan anak buahnya." Ia hanya melirikku sebentar sambil tetap makan.
"Pelan-pelan makannya." Aku menahan tangannya sebentar supaya dia menelan dulu apa yang ada di dalam mulut. "Bisa sambil kamu ceritakan?"
"Saya sedang di lumbung. Menyusun hasil panen seperti biasa." Katanya sambil tetap mengunyah dengan lahap. "Tiba-tiba anak buah Panglima Lawana datang, memaksa saya mengaku sesuatu yang tidak saya lakukan."
"Kenapa mereka bisa mendatangimu? Kenapa kamu?"
"Saya memang dengar Panglima Lawana sedang mengadakan razia penyusup. Saya tidak merasa melakukan apapun dan saya tenang saja. Saat mereka memeriksa lumbung kami dan gerobak-gerobak, anak buah Panglima Lawana menemukan selendang hijau di salah satu gerobak milik saya. Mereka langsung membawa saya dan memaksa saya mengakui perbuatan yang saya tidak tahu apa."
"Karena itu?" Dia mengangguk. "Selendang itu milikmu?"
"Saya kekurangan tali untuk mengikat rumput untuk pakan sapi dua hari lalu dan selendang itu ada di tali jemuran rumah kami lalu saya gunakan itu untuk mengikat rumput."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Keeper : Maliaza Ambaraningdyah
Ficção HistóricaNOTE// Cerita ini murni fiksi dan khayalan saya. Tidak bermaksud menyinggung kalangan manapun. Satu lukisan menarik perhatianku. Itu hanya lukisan hitam putih yang terlihat sangat tua berbingkai cokelat kayu, sederhana dengan seorang gadis yang meng...