#40 (Danastri)

200 31 3
                                    

Detik-detik berikutnya, suara itu perlahan menjadi samar dan... hilang.

Tidak.

Bukan hilang, tapi berubah. Berubah menjadi suara desiran angin, gesekkan antar ranting pohon, dan kicau burung. Hawa dan susananya berubah hingga saya tidak ingin bangun rasanya.

Hanya beberapa menit tenang dengan hawa yang sangat mendukung untuk tidur, ada suara yang mendekat. Seperti suara langkah kuda saat saya menonton Astaka berkuda.

Salah satu hal yang paling saya benci seumur hidup saya. Dikagetkan saat lagi tidur.

Saya membuka mata saya dan bersiap untuk berteriak marah, sebelum melihat siapa yang membangunkan.

"Danastri?"

Seseorang berpakaian aneh berjalan mendekat sambil menuntun seekor kuda. Dia seorang wanita mungkin seumuran saya. Saya baru saja membuka mata semuanya masih terlihat samar. Wanita muda tadi berjongkok tidak jauh dari saya tertidur. Dia mengenakan pakaian yang tidak pernah saya lihat.

Rambutnya sebahu tergerai begitu saja. Kedua telinganya terdapat anting sederhana berbentuk tetesan air dengan batu biru gelap di tengahnya. Pakaiannya berupa terusan sepanjang lutut dengan karet di bawah dadanya, kedua lengannya mengembang bulat sepanjang setengah lengan atas.

"Danastri."

Saya mengerjap beberapa kali. Ketika pandanganku mulai jernih, saya bisa melihat dengan jelas wajahnya.

"AAAAAAAAAAAA!" Saya berteriak dan bergerak mundur, punggung saya mentok pohon. Batang pohon besar yang berada di belakang tubuh saya.

Wanita muda itu sama kagetnya dengan saya. Dia tersentak mundur dan hampir terjungkal ke belakang. Wanita muda itu mengangkat kedua tangannya meminta saya untuk tenang.

Bagaimana saya bisa tenang jika ada orang asing di hadapan saya saat baru bangun tidur. Lama-lama saya perhatikan wajahnya. Lama-lama saya perhatikan postur tubuhnya. Lama-lama saya perhatikannya dari atas hingga bawah.

"Kenapa?" Tanyanya. "Apa yang kamu lihat?" Suaranya ringan dan lantang, penuh percaya diri.

Saya menunduk, mengalihkan pandangan dari wajahnya. Tatapan matanya tenang dan datar, tapi matanya sama sekali tidak bisa ditatap lama-lama. Biru, gelap, tajam, dan dalam. Mata yang mungkin bisa menyaingi tatapan ayah, Lawana, dan Astaka.

"Apa yang kamu lihat? Dirimu sendiri?"

Saya meliriknya sekilas dan kembali membuang pandangan. Apanya yang diri saya sendiri?

"Siapa kau?" Saya bertanya dengan hati-hati.

Wanita muda itu tersenyum. Cantik sekali. Saya menyadari bahwa dia memiliki tahi lalat yang sama dengan saya. Di pipi sebelah kanan mendekati hidung. Dia tertawa kecil.

Tangannya terulur ke depan dengan telapak tangan terbuka. Ditangannya terdapat gelang biji-bijian berwarna hitam merah dan sebuah gelang hitam pipih dengan bulatan putih berisi angka-angka di tengahnya.

Saya menjabat tangannya.

"Alia." Katanya. "Alia Ambar."

"Danastri."

"Aku tahu." Alia duduk bersila di hadapan saya. Membiarkan kainnya terangkat dan menunjukan setengah pahanya. Dia sama sekali tidak peduli. "Kamu tuan putri, Danastri."

Alia terlihat seperti berteman dengan dunia yang lebih terbuka, lebih luas. Astaka beberapa kali memanggil saya seperti itu.

"Angkat kepalamu. Kamu tidak pantas menunduk seperti itu di hadapan siapapun." Dia mengangkat daguku dengan kasar.

"Kau siapa? Kenapa ada di sini? Kenapa saya ada di hutan?"

"Aku tidak mengenal bagaimana kamu. Aku tidak tahu bagaimana kepribadian, watak, dan karakteristikmu. Tapi aku ingin kamu bertahan." Mata Alia yang biru membulat dan menatap serius. "Bangun. Aku ingin kamu bangun."

"Saya baru saja bangun."

"Kalau begitu bangun lagi, bangun lagi di tempat seharusnya. Bangun, biarkan aku bertahan sebentar, dan bawa aku pulang." 

The Past Keeper : Maliaza AmbaraningdyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang