Pagi menjelang siang kami berdiri di bawah undakan tangga depan rumah mengantarkan keluarga paman Janitra pulang. Datyani mengobrol sebentar bersama Utami dan Lingga. Denurtri menghadiahkan Ratri beberapa alat dan bahan membantik. Nyai Kinasih mengamit lenganku dan mengobrol bersama bibi Puspa.
Ibu dan bibi Puspa berbasa-basi tentang kunjungan kami yang akan datang dua hari lagi. Bibi Puspa mengusap rambutku terus hingga ke pipi. Dia mengatakan bahwa rumah mereka akan menyambut dengan meriah kedatangan keluarga Paduka Karkasa.
Sepanjang lima belas menit itu aku hanya tersenyum, mengangguk, dan menggeleng.
Sebelum menaiki kereta kuda, Lingga menghampiriku dan mengulurkan tangan. Aku menjabat tangannya dan akan kutarik dengan cepat. Lingga mengeratkan jabatan tangan kami hingga tenagaku tidak cukup untuk menarik tanganku kembali.
"Sampai bertemu lagi."
Aku tersenyum sekilas. "Hati-hati."
Semua bubar kembali melakukan kegiatannya masing-masing. Ibu mengajak beberapa bibi untuk mengecek persediaan bahan makanan di gudang makanan sebelah dapur. Denurtri dan Dewani pergi menuju sisi rumah tempat ruang belajar.
Aku tahu jika berbicara pada ibu hanya akan mendapat pelototan dan ocehan. Ketika aku lihat ibu menghilang di belokan lorong menuju bagian rumah yang lebih dalam, aku berbelok untuk mengikuti ayah.
"Ayah."
Paduka Karkasa berhenti dan berbalik. Ia mengulurkan tangannya padaku dan merangkulku. Dari gesturnya ia menyuruh beberapa petingginya untuk pergi. "Ada apa, Ndok?"
"Astri tidak ingin pergi." Aku to the point di hadapannya.
"Jangan begitu." Ayah mengajakku berjalan dan masuk ke ruang kerjanya. Ia mengajakku duduk di kursi panjang. "Mereka sudah bertamu. Gentian kita juga bertamu." Tangannya yang besar menyelipkan sisa rambutku yang tidak tergulung tusuk konde.
"Kenapa mesti buru-buru? Mereka baru pulang hari ini, kenapa kita menyusul buru-buru besok?" Pokoknya aku harus terus mengeluarkan protes.
"Karena tadinya kita mau ikut mereka hari ini, tapi ayah masih ada kerjaan, masih ada satu hal penting yang harus diurus." Ia mengusap kepalaku lalu mulai membuka lembaran-lembaran kertas di hadapannya.
"Ya lalu kenapa mesti besok? Kan, bisa nanti-nanti saja?"
Paduka Karkasa menghela napas. Ia meletakkan kertas-kertasnya lagi. "Sebenarnya karena ibunya bibi Puspa." Ayah duduk menghadapku, memandangku seolah ia berharap aku dapat memakluminya. "Bibi Wasita, ibunya bibi Puspa, punya peran yang penting di hidup ayah. Nenek Wasita sahabat dekat nenek dan kakek. Sekarang nenek Wasita sakit, sering mengigau dan mengatakan ingin bertemu ayah, paman Purwanka, paman Djati, paman Umboro, dan bibi Yuti."
"Ya-" Aku jadi tidak enak jika membawa-bawa orang tua yang sedang sakit. "-ayah dan ibu saja yang pergi. Astri tidak perlu."
"Berkenalan dengan keluarga paman Janitra dan bibi Puspa juga tidak ada salahnya."
Bajingan.
Datyani masuk mengantarkan teh hangat dan beberapa gorengan yang diletakkannya di atas meja kerja Paduka Karkasa. Ia duduk anggun di kursi seberang meja, berhadapan dengan aku dan ayah.
"Datyani benar. Tidak apa-apa kita berkunjung dan bertemu keluarga mereka."
"Untuk?"
Ayah menarik napas panjang. "Tidak untuk apa-apa. Hanya berkenalan."
"Rumah mereka tidak terlalu jauh. Kita bisa menempuh dalam waktu setengah hari." Datyani mengambil beberapa lembaran kertas yang ada di meja. "Paman Purwanka bilang mereka punya kebun jati dan kebun karet. Kita bisa bertukar jual beli dengan mereka."

KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Keeper : Maliaza Ambaraningdyah
Historical FictionNOTE// Cerita ini murni fiksi dan khayalan saya. Tidak bermaksud menyinggung kalangan manapun. Satu lukisan menarik perhatianku. Itu hanya lukisan hitam putih yang terlihat sangat tua berbingkai cokelat kayu, sederhana dengan seorang gadis yang meng...