Sarapan yang dibawakan mamih aku makan dengan lahap seperti aku tidak makan berhari-hari. Selesai makan dan melempar piringnya ke tempat cuci piring sambil berteriak supaya Mef mencuci piringku sekalian, aku kembali ke kamar.
Aku duduk di depan meja rias yang berantakan. Skin care, make up, sisir, ikat rambut, dan banyak hal lainnya milikku, Jehan, dan Ghea tercampur di atas meja. Aku memandangi diriku di depan cermin sambil tanganku terus mengusap gelang di pergelangan kiriku.
Sengaja aku jauhi kerumunan dan keramaian, ingin aku merenungi dan mengingat-ingat mimpiku semalam. Hal yang terakhir aku ingat adalah aku pergi untuk ambil minum diantar papih, melihat lukisan, lalu tertidur di sofa ruang TV.
Lukisan?
Ada banyak nama yang terngiang di otakku. Nama yang selalu muncul setiap aku berusaha keras mengingat mimpi itu.
Astaka? Danastri?
Nama orangkah itu? Siapa mereka? Kenapa juga aku harus memimpikan mereka? Dua nama itu yang paling sering muncul di otakku.
"Lia?"
Aku menoleh ketika Jehan memanggilku. Wanita itu berdiri di depan pintu kamar dengan tangan terlipat.
"Sini, deh!" Katanya sambil melambaikan tangan. "Gua tunjukin sesuatu."
Jehan mengajakku mengendap-endap menuju spot kecil di bawah tangga. Ada lemari kaca pendek di bawah tangga. Lemari kaca itu menunjukkan buku-buku dan map-map tebal. Di atas lemari ada koleksi pesawat telepon dengan berbagai macam model dan dari berbagai macam masa dan sebuah lampu meja.
Sebuah kunci Jehan keluarkan dari dalam saku jaketnya. Dia berjongkok di depan lemari dan berusaha membuka lemari dengan kunci yang dia punya.
"Lu emang klepto, Je?" Aku menoleh ke sana- ke mari untuk memastikan tidak ada orang yang melihat kami. "Kita baru dimarahi nenek kemarin sore."
'kemarin sore' yang aku katakan rasanya sudah berbulan-bulan lalu.
Jehan mengabaikanku. Dia tetap berkutat dengan kunci di tangannya.
"Kebuka." Jehan tersenyum lebar setelah berhasil membuka pintu lemari. "Duduk, Li."
Sekali lagi aku memastikan tidak ada orang di dekat kami lalu duduk bergabung dengan Jehan. Kenapa aku tertarik dengan tawarannya?
Jehan mengeluarkan sebuah buku yang sudah disusun dan dicover ulang. Kami membuka dan melihat-lihat isi buku. Selesai, kami mengembalikan buku itu dan mengambil buku lainnya.
Hati-hati sekali Jehan membuka lembar per lembar buku kedua. Mengomentari ini dan itu segala yang dia lihat.
"Pelan-pelan!"
Aku menahan tangan Jehan yang akan membalik lembaran kertas. Salah satu nama yang terus muncul dalam ingatanku tertulis di buku. Karkasa dan Kinasih. Purwanka.
Jemariku meraba kertas dimana nama-nama itu berada, terus merabanya ke bawah. Semua adalah nama-nama yang terus muncul dalam otakku ketika aku mengingat mimpiku.
Danastri. Safield?
Aku menemukan nama Danastri. Siapa Safield? Dussel?
Ah, ya. Buyutnya kakek yang pernah aku dan Jehan lihat di buku kemarin sore.
Dimana Astaka? Siapa Astaka? Kenapa namanya tidak ada?
Dewani?
Ada perasaan berat yang membuat sakit ketika aku membaca namanya.
Pelan-pelan aku susuri lembaran kertas sementara Jehan membolak-baliknya. Di penghujung buku terdapat satu lukisan yang terlihat lama sekali. Lukisan yang sudah pudar.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Keeper : Maliaza Ambaraningdyah
Fiksi SejarahNOTE// Cerita ini murni fiksi dan khayalan saya. Tidak bermaksud menyinggung kalangan manapun. Satu lukisan menarik perhatianku. Itu hanya lukisan hitam putih yang terlihat sangat tua berbingkai cokelat kayu, sederhana dengan seorang gadis yang meng...