Astaka mengantarku kembali ke kamar sambil menjelaskan dengan hati-hati bahwa aku tidak bisa mengunjungi penjara besok karena masih ada hal yang belum selesai diurus. Lelaki ini kemungkinan tahu bahwa aku tidak akan menerima penjelasan itu dan benar. Aku menolak mentah-mentah kami akan berkunjung dua atau tiga hari ke depan. Aku ingin besok.
Ketika aku dan Astaka berdebat tentang aku yang tetap ingin pergi besok, pintu kamarku di ketuk beberapa kali. Cindhe berhenti membereskan ruang lukis untuk membukakan pintu.
"Ndoro."
Aku dan Astaka menoleh ke arah pintu yang Cindhe buka lebar-lebar. Paman Purwanka berdiri di depan pintu membawa sesuatu yang diselimuti kain. Tangannya yang kosong melambai kecil padaku. Aku bangun dan melangkahkan kakiku menuju pintu. Astaka berjalan di belakangku.
"Ada apa?"
"Yugala sudah bercerita. Kau pergilah bersama Yugala. Tidak apa-apa jika Astri ingin melakukan kunjungan besok." Kata paman Purwanka pada Astaka.
Astaka terlihat ragu untuk meninggalkanku, tapi aku tersenyum miring sambil menggerakkan kepala menyuruhnya untuk pergi. Dia mencium tangan paman Purwanka sebelum melangkah pergi.
"Apa kau punya waktu, Ndok?" Tanya paman Purwanka. Aku menggangguk pelan. "Bisa kita mengobrol sebentar?"
Aku menyingkir dari depan pintu untuk memberi jalan paman Purwanka masuk. Cindhe menawarkan untuk mengambilkan paman Purwanka teh, tapi pria itu menolaknya dan meminta Cindhe meninggalkan kami berdua.
Air yang ada di dalam teko aku tuang ke gelas baru yang aku suguhkan ke depan paman Purwanka. Ia menepuk tempat kosong di sampingnya untuk aku duduk.
Paman Purwanka juga memiliki mata sembab dan wajah lelah yang sama. Ia memutar-mutar gelas di tangan sebelum meminum air di dalamnya beberapa teguk.
"Dulu saat paman hendak pergi dari rumah, semua orang marah dan menentang paman. Mereka mengutuk dan mengatakan hal-hal buruk bahwa paman tidak akan bertahan lama di luar sana dan akan kembali pulang sesegera mungkin. Atau bahkan lebih baik mati di luar sana."
Aku hanya diam mendengarkan.
"Hanya mereka berdua yang percaya pada saya. Mas Karkasa mengatakan bahwa kalau itu memang pilihan saya, dia percaya kalau saya bisa bertahan hidup di luar sana. Percaya bahwa saya bisa melakukan apapun di luar sana."
"Mbak Asih memberi kata-kata yang menggembirakan. Dia menyemangatiku kalau itu benar-benar keinginan hati saya. Dia bilang jika ada barang-barang bagus dari tempat-tempat yang saya datangi, saya harus mengirimnya ke rumah dan menghadiahkan untuknya."
Detik ini aku sadar bahwa sebenarnya paman Purwanka hanya butuh seseorang untuk berbicara sementar bibi Sadah tidak dalam keadaan yang baik.
"Saat saya pergi mereka belum lama menikah. Datyani pun belum ada. Mas Karkasa dan Mbak Asih rutin mengirimi saya surat walau saya jarang sekali membalas surat-surat itu. Dulu saat saya muda, saya hidup jauh dan menjauhi keluarga di rumah, tapi mereka tidak pernah menyerah untuk kembali menggapai saya."
Aku menyentuh tangan paman Purwanka ketika aku tahu suaranya bergetar hebat. Ia menarik napas sambil mengusap wajahnya kasar.
"Saya tidak menyesal pergi jauh dari rumah saat itu karena saya bisa membantu kemajuan di sini. Saya tidak akan pernah pulang jika bukan Mas dan Mbak yang terus mengirimi saya surat membujuk untuk pulang."
"Mereka terlihat hidup begitu bahagia dengan kalian berempat hadir dalam hidup mereka."
Aku sebenarnya tidak tahu kemana arah pembicaraan paman Purwanka. Aku hanya akan mendengarkan kemana arah ceritanya. Tapi aku tiba-tiba teringat sesuatu. Kotak kayu kecil yang ibu berikan belum sama sekali aku buka. Benda itu akuharap belum ada juga yang membukanya atau lebih parah menukarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Keeper : Maliaza Ambaraningdyah
Ficción históricaNOTE// Cerita ini murni fiksi dan khayalan saya. Tidak bermaksud menyinggung kalangan manapun. Satu lukisan menarik perhatianku. Itu hanya lukisan hitam putih yang terlihat sangat tua berbingkai cokelat kayu, sederhana dengan seorang gadis yang meng...