#10

490 43 7
                                    

Lantai semen ini terasa dingin di kaki telanjangku. Aku terus mencibir dan mengumpat, mengabaikan segala sapaan serta salam dari pelayan dan pengawal yang lewat. Langkahku cepat dan aku hentakan ke lantai untuk melampiaskan segala amarahku.

Tiba-tiba aku sadar kalau ini bukan jalan menuju kamarku. Lorong ini adalah tempat yang belum pernah aku lewati. Aku behenti dan menoleh ke balakang, mencari siapapun yang bisa aku mintai tolong.

Beberapa meter di depanku sepertinya tempat terbuka. Aku terus berjalan hingga sampai di taman yang dipenuhi tumbuhan berbunga. Taman ini di kelilingi bangunan seperti kamar-kamar, lebih terlihat seperti tempat kosku di Bogor.

Aku duduk di kursi kayu dekat sebuah semak mawar. Bulan di atas sana menunjukan kalau hari mulai larut. Aku mendongak dan melihat banyak sekali bintang yang tidak bisa aku lihat di rumah, kosan, kampus, atau tempat lainnya di hidupku, tapi Danastri bisa melihat apa yang tidak bisa aku lihat di sini.

Tanpa berharap apapun, aku meraba kedua sisi rokku berpikir akan menemukan saku dan smartphoneku di dalamnya. Harusnya aku bisa menguhubungi Ruby dan dia akan langsung menjemputku saat itu juga.

"Ruby." Aku mendesah lelah sambil mendongak memandang langit.

"Tuan Putri?"

"Ruby?" Refleks, aku berdiri dan berbalik. Tentu saja bukan, bodoh. Aku tersenyum canggung saat Astaka dan seorang lagi berlutut di hadapanku.

"Kenapa Tuan Putri di sini?" Astaka melihat sekeliling memastikan apakah aku bersama seseorang atau tidak.

Aku kembali duduk sebelum menjawab, "Saya mencari udara segar dan sampai di sini." Harga dirilah kalau bilang kesasar.

"Mari saya antar ke kamar?"

"Ya." Aku menjawab tawaran Astaka dengan cepat.

Mereka berdua bangun dari hadapanku. Lelaki di samping Astaka menunduk sopan lalu mundur beberpa langkah memberiku jalan. "Kau ingat Yugala?"

"Oh?" Dia yang ditanyakan Dewani tadi.

"Salam, Ndoro." Ia mengatupkan kedua tangannya di depan dada.

"Salam, Yugala." Aku membalas salamnya lalu beralih pada Astaka. "Kalian darimana hingga melewatkan makan malam?"

"Ke perbatasan selatan menerima tamu." Jawab Astaka.

Tubuhku merinding saat tangan Astaka terulur ke belakang punggungku dan mendorongku pelan untuk mulai berjalan. Aku melangkah dua langkah lebar hingga tangannya menjauh dariku.

"Mari Yugala."

"Mari Panglima." Yugala menunduk sopan pada Astaka lalu beralih padaku, "Mari Ndoro." Dan menunduk sopan padaku.

Aku tersenyum dan melambaikan tangan sambil terus berjalan. Tunggu? Yugala bilang apa tadi? Panglima? Astaka seorang panglima perang?

.

Seperti yang aku duga, Astaka kaget ketika melihat Sunah di dalam kamarku, ia hanya mengangguk-angguk mendengar penjelasanku lalu duduk tenang memandang Sunah di pangkuanku.

Kucingku di kosan pasti merindukanku. Aku punya kucing di kosan, kucing jantan bernama Esa. Esa jauh lebih besar dan berat di banding Sunah, bulunya yang hitam dan putih sangat halus walau kadang berdebu karena bermain di jalanan.  Esa bukan satu-satunya kucing di kosan. Ada tiga kucing lainnya yang dirawat oleh semua penghuni kosan.

Satu hal yang selalu aku rindukan ketika pergi meninggalkannya adalah bagaimana cara Esa menyayangiku, caranya meminta perhatianku, dan caranya bermanja seperti yang Sunah lakukan.

"Boleh saya ambil sepotong pisang?"

Aku memandang Astaka di hadapanku lalu beralih pada pisang di atas meja. "Ya, silahkan."

Astaka memajukan tubuhnya agar bisa meraih pisang di atas meja. "Kakimu baik-baik saja?"

"Hah?" Aku menunduk dan melihat punggung kaki kiriku memar dan berdarah. Datyani sialan. "Ya, tidak apa-apa." Kaki kiriku aku tarik ke balik kaki kanan untuk menutupinya.

"Cindhe!" Astaka berteriak memanggil Cindhe yang sedang merapihkan susunan lukisan-lukisan yang tadi sore aku buat berantakan. "Ambilkan air hangat dan obat."

"Untuk apa?" Cindhe datang dengan tergesa-gesa.

"Kau tidak lihat Ndoro Ayumu terluka?" Suara Astaka mulai meninggi sambil menunjuk kakiku.

"Hei?"

"Ya Gusti." Cindhe terkejut melihat kakiku, "Tunggu sebentar, Ndoro." Lalu Cindhe berlari keluar kamar.

"Astaka?" Aku memandangnya tidak percaya, "Oh, ayolah! Ini hanya memar dan luka kecil."

Awalnya ia mengerutkan keningnya sebelum bertanya, "Darimana kau dapat luka ini?"

Lelaki ini tidak jadi meminta pisang dan malah berlutut di hadapanku, menarik kaki kiriku, dan meletakan kakiku di atas lututnya. Tubuhku dingin seketika saat tangan besar Astaka menyentuh pergelangan kakiku, mengusap terus hingga ke punggung kaki dan telapak kaki. Aku ingin menarik kakiku ketika dia menahannya semakin erat.

Cindhe kembali dengan sebaskom air hangat. Ia meletakkannya di samping Astaka lalu mengambil handuk dan obat di laci meja rias.

"Ndoro kenapa bisa terluka?" Cindhe bertanya sambil menyiapkan obat yang Astaka minta.

"Tidak sengaja tadi saat makan malam." Mataku tidak lepas dari bagaimana Cindhe menghaluskan tablet-tablet yang katanya terbuatdari daun-daun herbal yang dipadatkan.

Bagaimana jika kakiku membengkak dan malah membusuk karena obat itu?

"Aw." Refleks aku menarik kakiku yang Astaka pegang ketika menyentuh sesuatu yang basah.

Astaka memandangku kaget ketika aku berteriak. "Panas?"

Aku mencelupkan jempol kiriku ke dalam air dengan hati-hati. "Tidak."

Helaan napas Astaka terdengar olehku dan aku mencibirnya sambil menjulingkan mata. Dia membasuh kakiku dengan hati-hati, mengusapnya perlahan, dan membersihkan kakiku hingga ke sela-sela jari lalu bergantian dengan kaki kanan.

Setelah mengeringkan kakiku, Astaka menutup luka gores dengan dedaunan yang sudah Cindhe haluskan. Begitu telaten dan hati-hati, seperti bagaimana papih dan Ruby memperlakukanku.

"Sakit?"

"Tidak." Hanya merinding.

The Past Keeper : Maliaza AmbaraningdyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang