Langkahku cepat mengecek ruang belajar lainnya. Ruang belajar yang berhadapan dengan ruang belajar yang Datyani gunakan terkunci. Ruangan sebelah ruangan Datyani adalah ruang penyimpanan kertas, tinta, pena, cover kulit untuk buku, dan berbagai alat tulis lainnya. Dihadapan ruang penyimpanan alat tulis adalah ruang penyimpanan alat dan bahan membatik.
Semua pintunya tertutup dan terkunci kecuali satu ruang belajar lagi di sebelah ruang penyimpanan alat tulis. Aku segera berjalan ke sana dan mendapati Dewani di sana.
Gadis remaja itu duduk di kursi panjang yang ada di tengah ruangan. Di atas meja ada sebuah buku yang tertutup. Dewani menaikan kedua kakinya ke atas kursi, merapatkannya ke dada, dan memeluk lututnya.
Aku hanya berdiri di depan pintu memandang ke arahnya. Dewani balik memandangku dengan matanya yang terlihat kurang tidur.
"Kalian habis bertengkar, ya?" Tanyanya.
"Tidak juga. Hanya seperti biasanya."
Langkahku mulai memasuki ruang belajar. Aku duduk di samping Dewani. Buku yang ada di atas meja mirip dengan milikku dan buku Datyani yang tadi aku lihat.
Tanganku aku angkat dan meraba cover kulit yang mungkin terukir nama Dewani. Tiba-tiba Dewani menerjangku, memeluku erat, dan menangis di pelukkanku.
Air mataku sudah habis. Tidak ada lagi yang bisa aku tangisi. Tanganku terangkat untuk memeluknya dan mengusap punggungnya.
Butuh waktu hingga Dewani tenang hingga akhirnya aku bisa mengajaknya makan siang. Aku mengiming-iminginya bahwa aku akan makan bersamanya di ruang makan. Saat melewati ruang belajar yang digunakan Datyani, pintunya sudah tertutup dan terkunci.
Ruang makan tidak terlalu ramai tapi aku mengajak Dewani untuk duduk di meja kecil supaya kami tidak diganggu orang. Kami menikmati makanan yang dibawakan pelayan.
Kali ini sekali saja aku ingin kembali menyentuh nasi. Selain buah dan ubi, biasanya aku hanya memakan lauk dan sayur. Aku ambil nasi dalam porsi sedikit dan sayur kangkung.
Beberapa saat kami duduk dan menikmati makanan kami dalam diam, Dewani mulai mengajakku berbicara. Dia seperti menyembunyikan lagi rasa sedihnya dan berbicara ceria seperti biasanya.
Segala pembelajaran Guru Besar Widyastika menjadi topiknya. Tentang tanaman umbi-umbian yang cocok ditanam berdekatan dengan tanaman apa, tentang tanaman racun dan penawarnya, tentang buah kelengkeng yang harus ada dua pohon baru bisa berbuah.
Semua tentang hal yang tidak pernah aku pahami meski sudah berbulan-bulan aku di sini.
.
Sisa hariku aku lewati dengan mengabaikan semua orang termasuk dengan makan malam di dalam kamar. Rasanya ternagaku sudah habis bernegosiasi dengan penyusup, mengobrol bersama Endrasuta, bermanis-manis di hadapan Datyani, dan meladeni Dewani.
Cindhe sudah ada di dalam kamarku bersama lipatan-lipatan pakaian yang siap di masukan ke dalam lemari dan peti. Sunah ada di atas kasurku menjilat-jilat tubuhnya.
Aku duduk di kursi panjang memandangi buku pemberian ayah yang masih ada ditempatnya seperti terakhir aku meninggalkannya, ada di atas meja. Tanganku meraba pelan-pelan ukiran yang terdapat di cover buku. 'Danastri' itu yang tertulis di sana.
Astaka pernah menunjukan bagaimana menulis 'Alia'. Aku tidak bisa membacanya, tapi aku menghafal bentuk tulisannya. Berikutnya aku minta dia menuliskan namanya dan Astaka melakukannya dan aku menghafalnya.
"Kalau Danastri?" Tanyaku saat itu.
"Kau ingin menghafal nama Danastri juga?" Astaka balik bertanya. Aku mengangguk.
Jadilah aku menghafal bagaimana tulisan 'Alia', 'Astaka', dan 'Danastri'.
Aku bangun dari kursi menuju kasur. Dari balik bantal aku keluarkan belati yang sempat aku simpan sebelum makan malam. Aku membawa belati itu duduk di lantai dekat meja.
Buku di atas meja aku tarik mendekat. Belati ditanganku aku keluarkan dari dalam sarungnya. Bukunya aku balik hingga menampilkan cover belakang yang polos. Ujung belati yang tajam aku arahkan ke pojok kiri bawah cover buku.
Dengan bantuan lampu minyak di atas meja, aku ukir namaku menggunakan huruf pallawa. Aku ukir sekecil dan serapih yang aku bisa.
Buku ini milik Danastri, tapi aku yang ada di sini. Aku yang menerimannya dengan tanganku dan menangisinya. Aku yang tertidur sambil memeluknya. Aku berhak meninggalkan jejakku di sini.
Astaka masuk ketika aku hampir menyelesaikan ukiranku.
"Apa yang kau lakukan?" Tanya Astaka kaget karena melihatku memegang belati yang terbuka.
"Mengukir namaku di buku ini." Jawabku tanpa mengangkat kepala.
Beberapa saat kemudian aku selesai. Cover buku tidak terlalu keras dan mudah di ukir. Aku meniup sisa serpihannya ke lantai.
"Selesai." Aku mengangkat buku itu tinggi-tinggi. Dalam cahaya lampu minyak yang samar aku dapat melihat namaku terukir kecil di cover belakang buku.
"Apa kamu sudah selesai, Cindhe?"
Cindhe tersenyum kecil dan mengangguk.
"Duduklah! Bacakan aku buku ini!" Kataku sambil mendorong bukunya ke seberang meja.
Cindhe jelas terlihat panik. "Saya belum bisa, Ndoro." Jawabnya sambil menggerakkan tangannya.
"Duduk dan bacakan aku cerita!"
Astaka menarik bahu Cindhe pelan mendekati meja.
"Belum bisa, Ndoro Mas."
"Bisa. Kau bisa. Jangan buat aku menyesal meluangkan waktu untuk mengajarimu."
Cindhe duduk di lantai. Ia menarik buku itu hati-hati dan mulai membukanya. Astaka mengambilkan bantal dan meletakkannya di kursi yang aku duduki sedangkan ia berjalan memutari meja dan duduk dekat Cindhe. Mata Astaka yang tajam tertuju pada kertas yang dibaca Cindhe.
Cindhe mulai membaca dengan terbata-bata. Astaka terus mengawasi dan sesekali membantunya. Aku berbaring di kursi menghadap ke arah Astaka dan Cindhe, berusaha menyimak kalimat-kalimat Cindhe yang terbata.
Terus aku mendengar kalimat-kalimat Cindhe diselingi Astaka. Lama-lama mataku terasa berat dan aku tertidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Keeper : Maliaza Ambaraningdyah
Исторические романыNOTE// Cerita ini murni fiksi dan khayalan saya. Tidak bermaksud menyinggung kalangan manapun. Satu lukisan menarik perhatianku. Itu hanya lukisan hitam putih yang terlihat sangat tua berbingkai cokelat kayu, sederhana dengan seorang gadis yang meng...