So here we go
Ketika hari mulai sore dan matahari mulai menghilang, aku hawa yang ada semakin membuatku tidak nyaman. Masih ada hawa dingin mencekam yang sama dengan kesunyian. Ditambah tidak banyak obor dan lampu minyak yang dinyalakan di dalam rumah.
Hanya ada satu pengawal yang ada di depan kamarku, begitu juga kamar lainnya. Orang berkaliling untuk menyalakan lampu minyak dan obor adalah satu anak buah Yugala. Bukan beberapa orang pelayan seperti biasanya.
Aku ingin muntah oleh segala rasa khawatir dan takutku ditumpuk menjadi satu. Semakin gelap semakin mencekam keadaan di dalam rumah. Sunyi yang aneh melingkupi suasana di luar kamar.
Tiba-tiba jauh dari luar kamar ntah di rumah bagian mana aku mendengar suara ribut orang berteriak. Tanganku refleks menarik belati dari sarungnya yang sudah terikat di pinggangku.
Pintu kamarku digedor-gedor kencang. Suara Giyarto terdengar dari luar. Cindhe buru-buru membukakan pintu. Giyarto mendorong pintu kamarku hingga terbuka lebar.
"Keluar!" Kata Giyarto. "Cepat keluar!"
Dari luar kamar aku mendengar suara ribut lainnya. Suara pengawal lain termasuk Yugala yang meneriakan semua orang untuk keluar dan berkumpul di ruang besar.
"Ada apa?" Tanyaku.
"Para pemberontak sampai di gerbang samping. Semua orang harus berkumpul di ruang besar." Jawab Giyarto.
Ruang besar yang dimaksud adalah ruangan besar tempat biasa orang-orang 'disidang'. Tempat di mana ayah menyatakan akan menurunkan kepemimpinannya padaku. Tempat di mana aku dan Dewani dituduh meracuni Datyani.
Aku memasukan belati ke dalam sarung dan menarik Sunah ke dalam pelukkanku. Cindhe mengambil selendang untuk menutupi bahuku. Kami keluar dari kamar bersamaan dengan orang lainnya. Anggota keluarga lainnya termasuk Datyani dan Denurtri keluar dari kamar mereka masing-masing mengikuti arahan dari Yugala untuk berkumpul di ruang besar dan ruang duduk. Menjauh dari gerbang samping rumah.
Aku berjalan di belakang bibi Sadah dan Sura. Mereka ditemani pelayan yang membawa keranjang makanan dan obat milik Sura.
Dari arah gerbang samping aku mendengar suara teriakan rusuh. Teriak-teriakan dan suara kayu yang dipukul-pukul. Orang-orang berteriak panik dan berjalan saling mendorong.
Aku menggeser tubuh Cindhe ke pinggir supaya kami tidak terdorong-dorong orang.
"Pelan-pelan, saja." Bisikku pada Cindhe dan Giyarto.
Suara dari gerbang samping semakin membuatku takut. Suara bilah kayu saling beradu, suara pukulan benda keras terhadap benda keras, suara teriakan orang-orang berupa makian dan ntah apa tidak jelas.
Satu teriakan dari pintu samping membuat semua orang di dalam rumah histeris dan berlari menjauh dari pintu samping yang dekat dengan gerbang samping.
"Percepat pemindahan!"
Evakuasi maksudnya.
Tiba-tiba ada suara gedebum keras dari arah samping rumah. Di susul teriakan yang sangat ramai dan membuat tubuhku merinding. Teriakan panik dari orang-orang rumah semakin menjadi.
Aku memberikan Sunah pada Cindhe supaya aku bisa sigap mengambil belati.
Yugala tidak lagi membimbing kami menuju ruang besar, tapi menuju ke luar dari rumah. Beberapa pengawal berbaris di belakang orang-orang yang dibimbing Yugala untuk ke luar rumah. Termasuk Endrasuta berdiri di barisan pengawal di belakang. Mereka mebawa tombak dan pisau panjang mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Keeper : Maliaza Ambaraningdyah
Ficção HistóricaNOTE// Cerita ini murni fiksi dan khayalan saya. Tidak bermaksud menyinggung kalangan manapun. Satu lukisan menarik perhatianku. Itu hanya lukisan hitam putih yang terlihat sangat tua berbingkai cokelat kayu, sederhana dengan seorang gadis yang meng...