Sepanjang jalan menuju kamar, aku dan Batara tertawa-tawa membicarakan reaksi Lawana dan anak buahnya. Dia pamit akan mengecek Dewani sebentar sebelum pergi ke kamarnya sendiri. Aku ditinggal bedua dengan aura marah Astaka.
Belokan terakhir menuju kamar, Astaka terdengar menghela napas kasar. Aku berbalik memandangnya sambil tersenyum. "Kenapa?"
Sekali lagi ia menghela napas. "Aku tidak tahu lagi apa yang akan kau lakukan setelah ini." Tangannya terulur menepuk kepalaku.
"Gua juga gak tahu apa yang gua lakuin." Kataku sambil tertawa pelan. Auranya yang tadi ingin marah tiba-tiba hilang. "Lo gak mau marah?"
"Tadinya saya mau marah. Sudah telanjur juga, kan." Astaka tersenyum kecil lalu memutar bahuku supaya aku jalan menghadap depan. "Sekarang pikirkan bagaimana menghadapi hari esok."
BOOOM.
Pinternya aku tidak berpikir bagaimana besok aku akan mati di tangan Lawana.
"Ndoro?" Cindhe menungguku di samping kamar. Duduk di kursi sambil menulis-nulis sesuatu. "Ndoro tidak apa-apa? Saya dengar Ndoro ke lapangan tapi saya tidak berani menyusul."
Aku tersenyum lebar, menarik lengan Cindhe dan mengajaknya masuk ke kamar. "Gua gak apa-apa."
Astaka berbicara sebentar pada Endrasuta di depan kamar sebelum menyusul masuk. Endrasuta terlihat mengangguk beberapa kali sebelum pergi dari depan kamar. Aku duduk dan menerima air yang ditawarkan Cindhe.
Satu perasaan yang ada saat hari pertamaku di tempat ini kembali sekarang. Rasanya semua yang terjadi di sini adalah sebuah kesalahan. Mengingat kalau aku di sini merupakan sebuah kesalahan membuat perutku melilit hingga ingin muntah rasanya.
Cindhe membawaku duduk lalu memberiku segelas air. Segalanya benar-benar terasa salah bagiku. Membuat perasaanku begitu tidak enak. Kepalaku mulai pening dan perutku semakin melilit memikirkan dan merasakan apapun yang terjadi saat ini.
Satu-satunya yang aku inginkan adalah pulang. Pulang benar-benar pulang.
"Cindhe?" Gadis itu berhenti memijit kakiku dan menoleh pada Astaka. "Kenapa tidak ada buah?"
"Ndoro Mas mau apa?" Tanya Cindhe.
"Pisang. Kayak biasa."
Cindhe bangun dari lantai lalu berjalan keluar kamar untuk mengambil pisang di dapur. Setelah Cindhe pergi, Astaka duduk di sampingku. Aku merasakan pergerakan Astaka mengambil sesuatu dari tempat pisaunya. Selembar kertas disodorkan ke pangkuanku.
"Apa ini?" Aku membalik lembaran kertas itu. Di sana ada tergambar seorang gadis berkebaya yang berdiri di depan sebuah batu besar yang di sampingnya ada saung di tengah sawah. Samar-samar di dalam saung itu duduk seorang gadis lain. Gunung yang menjadi latar belakang berdiri dengan gagahnya. "Ini waktu kita ke sawah itu?"
"Iya."
"Waw." Aku menerawang gambar yang Astaka berikan padaku. "Kamu berbakat juga ternyata."
Astaka tertawa pelan sambil menggeleng. "Kau bisa simpan itu."
Aku tersenyum dan memandangi lama-lama kertas di tanganku. Beberapa menit aku memandangi gambar Astaka. Semenit, dua menit, tiga menit. Hingga aku mengingat ingatan terakhirku sebelum sampai di tempat ini.
.
Hari ini, setelah selesai sarapan aku meminta Astaka mencari Parwoko untuk mengembalikan binokular yang dipinjamkan kemarin dan berbicara tentang sesuatu. Astaka malah menyuruh Endrasuta untuk pergi mencari Parwoko sementara dia menikmati sarapannya di kamarku.
Aku duduk diam menikmati ubi rebus sambil menyaksikan Cindhe yang begitu semangat belajar baca tulis bersama Astaka. Beberapa saat kemudian Endrasuta mengetuk pintu kamar dan Astaka membukakan pintunya. Endrasuta memberi tahu kalau sebentar lagi rombongan pendatang akan datang untuk membicara tentang kerja sama. Parwoko akan mendatangi kami setelah pertemuan.
"Setelah pertemuan artinya sebelum ke balai desa."
MAMPUS.
"Ya, bakal mati gua sebentar lagi." Perutku kembali melilit karena perasaan yang tidak enak dan ketakutan.
.
Menjelang siang, Parwoko menemuiku dan Astaka di halaman yang dipenuhi tanaman buah, tempat aku menemukan Sunah. Ia menghela napas, memberi salam pada Astaka lalu duduk di hadapanku dan Astaka.
"Ada apa?"
Aku mengeluarkan binokular miliknya dari balik kain yang aku gunakan untuk menutupi bahu. Parwoko melipat binokularnya dan memasukannya ke dalam saku.
"Gua mau ngomong."
"Kenapa?" Tanya Parwoko.
"Dari yang gua tangkep lu udah sering 'kayak' gini." Parwoko mengangguk-angguk. "Biasanya apa yang jadi penyebab 'target' lu bisa sampai ke sini?"
"Hmmm?" Parwoko terlihat berpikir sebentar. "Selama tiga tahun ini sih gua baru ketemu dua tipe, karena terikat tempat dan benda. Diri lu sendiri yang bisa tahu masuk tipe apa lu itu."
Aku diam, memandang Parowoko lalu mengeluarkan kertas. Kertas gambar Astaka yang diberikannya tadi malam. Kertas itu aku berikan pada Parowoko. Lelaki itu memandangi kertas sambil mengangguk-angguk.
"Oh, Ivanic Tipe Dua? Terikat pada benda." Kata Parowoko sambil mengembalikan kertas padaku.
"Kamu tahu siapa namaku?"
"Alia Ambar." Jawab Parwoko dengan yakin.
"Nama lengkapku?"
Dia diam, memandangku lama lalu menggeleng.
"Maliaza. Ambaraningdyah." Kataku. "Dussel."
Parowoko diam dengan mata yang melebar dan bibir yang sedikit terbuka. Beberapa detik lamanya hingga ia mengerjapkan mata dan berdeham untuk mengembalikan suara.
"Tipe tiga, Dagnatic." Suaranya pelan bergumam. "Lalu gambar itu?"
Aku menoleh pada Astaka. Lelaki itu hanya mengangkat alis sambil mendelikan bahu. "Gambar ini ada di pigura di rumah keluargaku. Dipajang tergantung di salah satu dinding rumah."
"Rumah keluarga?"
"Rumah itu, rumah yang kau tunjukan padaku hari itu, rumah perintah." Kataku pada Astaka.
Astaka mengangguk. "Rumah tempat mereka tinggal."
"Itu rumah keluarga besarku." Tergambar dari raut wajah Parowoko dan Astaka kalau mereka kaget. "Gambar ini terpajang di dinding di dalam pigura puluhan tahun atau ratusan tahun lamanya mugkin."
"Saya melukis dirimu."
Aku memandang Astaka beberapa saat lalu menoleh ke arah Parwoko. "Artinya gambar di dinding itu aku, bukan Danastri."
"Gua gak tahu. Tidak mungkin seseorang bisa terikat lebih dari dua sumber. Kemungkinan karena keturunan." Parowoko menghela napas lalu bangun dari duduknya. "Nanti gua cari tahu lagi." Katanya dijeda tarikan napas. "Waktu kita pulang maksudnya."
Parwoko memberi hormat pada Astaka sebelum ia pergi meninggalkan kami berdua. Aku mengabaikan salamnya sebelum pergi, sibuk dengan pikiranku sendiri. Pulang katanya? Pulang? Aku menoleh ke sampingku, tempat Astaka duduk.
Ya. Jelas gua harus pulang.
Tempat di mana Astaka duduk, aku malah melihat Ruby di sana. Ruby yang sebagaimana Ruby biasanya. Ruby yang mengenakan blue jeans favoritnya, kaus putih polos, dan kemeja kotak-kotak biru belel. Rambutnya yang dipotong pendek tertutupi topi klub berkuda kesayangannya. Raut wajahnya memandangku bingung.
"Sudah waktunya kita ke balai desa." Astaka bangun dan mengulurkan tangannya padaku.
Satu helaan napas, mendongak dan tersenyum memandang Astaka sebelum kemudian menyambut uluran tangannya dan bersiap menuju kematianku di tangan Lawana
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Keeper : Maliaza Ambaraningdyah
Ficção HistóricaNOTE// Cerita ini murni fiksi dan khayalan saya. Tidak bermaksud menyinggung kalangan manapun. Satu lukisan menarik perhatianku. Itu hanya lukisan hitam putih yang terlihat sangat tua berbingkai cokelat kayu, sederhana dengan seorang gadis yang meng...