#20

325 41 2
                                    

Mau dilihat dari sisi manapun ini bukan tempatku. Bukan rumahku. Tidak perduli apapun yang sudah dan akan terjadi, ini tetap bukan duniaku. Bukan tempat dimana seharusnya aku berada.

Ketika melihat Cindhe menungguku untuk naik ke dalam tandu, aku berhenti dan melihat ke belakang. Demi tuhan, apapun yang terjadi aku harus melihat ke sana. Aku tetap harus memastikan rumah itu, aku tetap harus mencari jalan pulang bukan?

Sesuatu dalam diriku memaksa untuk tetap pergi tapi di sisi lain bilang bahwa aku harus kembali bersama mereka.

"Apa terlalu jauh jika pulang lewat sana?" Aku menunjuk arah berlawanan dengan jalan pulang.

"Kenapa?"

"Tidak apa-apa jika terlalu jauh." Aku kembali berjalan mendekati Cindhe. Tubuhku mendingin ketika Astaka menarik pundakku hingga punggungku menabrak dadanya.

"Kau ingin sesuatu?" Tanyanya berbisik di telingaku.

YA... AKU INGIN PULANG!!!

Aku tersenyum sebaik mungkin menahan tangisku yang entah kenapa tiba-tiba terasa akan meledak. "Hanya ingin melihat."

"Cindhe kau pulang bersama yang lain. Saya dan Danastri pergi sebentar." Astaka memerintahkan mereka untuk kembali ke rumah.

"Saya tidak bisa pulang tanpa Ndoro Ayu." Cindhe kebingungan ketika harus naik tandu tanpa aku.

"Tidak apa jika Ndoro Danastri mau pergi kami antar." Seorang yang dipanggil Astaka dengan nama Endrasuta menyaut.

Lu naik kuda, bego. Kan yang angkat tandunya mereka.

"Jangan!" Aku menolaknya. "Cindhe kau bilang rumah orangtuamu dekat sini? Sekarang pulang ke rumahmu, kembali padaku nanti sore. Paham?" Cindhe mengangguk, "Kalian kembali saja lebih dulu."

Astaka mengulang perintahku pada pasukannya dan meminta seorang anak buahnya yang ia panggil Giyarto untuk mengantar Cindhe. Meski awalnya Cindhe menolak, tapi aku memaksa hingga akhirnya Cindhe bersedia pergi bersama Giyarto.

Setelah mereka semua pergi meninggalkan aku dan Astaka, rasa sesak tangisku kembali memuncak.

"Kau baik-baik saja?" Astaka menuntunku menuju Banu, "Apa yang ingin kau lihat?"

"Rumah." Suaraku hampir bergetar.

Astaka menghentikan uluran tangannya membantuku menaiki Banu. "Kau berasal dari sana?" Tanyanya menunjuk ke arah yang aku tunjuk.

"Aku tidak tahu, tapi aku kenal tempat ini." Astaka merengkuh kedua bahuku ketika ia tahu suaraku semakin bergetar. "Sore itu aku berdiri di sana." Jelasku sambil menunjuk batu besar di tengah sawah tadi.

"Baiklah, kita pergi."

Banu terasa sedikit lebih tinggi dari pada Ambar ketika aku berhasil loncat ke atasnya. Aku tersentak kaget ketika Astaka juga ikut naik ke atas Banu dan duduk di belakangku. Ketika kedua tangannya terulur untuk menggenggam tali kekang Banu, aku dapat merasakan dadanya menempel di punggungku.

Aku beruntung mengenakan kebaya yang Cindhe siapkan untukku. Jika tidak aku sudah mati membeku karena bersentuhan kulit dengan kulit olah dada bidangnya.

"Sudah jangan menangis." Suara terdengar tepat di atas kepalaku. Terdengar begitu dekat hingga meresap sempurna ke dalam otakku.

"Aku tidak menangis." Aku mendengar kekehan tawanya. Sama sekali tidak ada cela bahwa itu suara Ruby.

Banu terus berjalan hingga melewati perkebunan dan hutan yang begitu asing bagiku. Beberapa rumah dari ayaman bambu dan kayu kami lewati hingga sampai di suatu rumah yang lebih besar dari rumah-rumah yang lain. Rumah yang tidak terbuat dari anyaman bambu.

Bangunan yang terlihat asing bagiku tapi juga begitu akrab diingatanku. Tidak mungkin ini rumah keluarga, kan? Jelas tidak dari penampilannya, tapi iya dari bentuk bangunannya.

Bentuk bangunan yang persis, dengan cat, atap, dan tiang kayu yang berbeda. Pohon rambutan? Iya, aku yakin ini pohon besar di depan rumah hanya ini lebih pendek dan belum terlihat tua.

Dari jalan terlihat di dalam sana banyak orang melakukan aktivitas.

"Astaka itu rumah siapa?"

"Rumah perintah." Jawab Astaka sambil menarik tali kekang Banu untuk berbelok memasuki halaman rumah tersebut. "Di sini ayahmu menjalankan perintah keamanannya."

"Bisa kita masuk?" Aku bertanya ragu.

Astaka terlihat berpikir sebelum turun dari atas Banu lalu mengulurkan tangannya padaku.

Satu langkah kakiku memasuki rumah. Ada suatu aura yang aku rasakan. Aura yang jelas tidak asing bagiku. Ruangan luas tempatku berada saat ini, harusnya ada TV LCD besar di pojok sana beserta sofa dengan bantal empuknya. Dibatasi skelsel kayu dengan ukiran rumit, di sisi lain ruangan merupakan ruang tamu dengan kursi-kursi rotan.

Ruangan yang aku pijak sekarang terkesan begitu lapang dengan beberapa kursi-kursi rotan dan kursi kayu biasa. Langit-langit tanpa plafond, di tengah ruangan harusnya terdapat dua lampu LED panjang. Lampu minyak dan obor-obor yang tertempel di dinding menggantikan lampu-lampu yang biasa aku lihat.

"Ndoro Danastri."

Tiga orang bersimpuh di sampingku. Aku kaget dan mundur ke arah Astaka.

"Bagaimana persiapannya?" Astaka mengajakku untuk duduk.

"Semuanya sudah hampir siap Panglima. Hanya tinggal tunggu kabar dari Panglima Yugala." Jawab salah satu dari mereka.

Mereka terlihat membahas segala sesuatu tentang tamu yang akan datang. Aku duduk di salah satu kursi sambil memandang sekeliling sementara Astaka mengobrol bersama yang lain.

Aku memandangi buffet besar di pojok ruangan. Tempat di mana seharusnya ada sofa berwarna cokelat susu di sana. Tempat di mana terakhir kali seharusnya aku berada, terlelap, dan akhirnya terbangun di tengah hutan.

"Ayo Tuan Putri." Astaka sudah bangun dari duduknya sambil mengulurkan tangannya.

"Mari Ndoro Danastri."

Ada satu rasa yang berat saat akan melangkah keluar. Ada satu rasa yang semakin menyesakkanku. Rasa yang memintaku untuk tetap tinggal dan pulang. Satu rasa itu kembali membuatku ingin meledakkan tangisku. Rasa ragu yang begitu besar untuk pergi.

Bagaimana caranya?!

Tangan Astaka yang menggenggamku menegang ketika ia sudah satu langkah di depan pintu sedangkan aku masih satu langkah di dalam.

"Alia?" Panggilannya hampir tanpa suara.

"Ya. Ayo pulang." Aku tersenyum sebelum kembali mengikuti langkahnya. 

The Past Keeper : Maliaza AmbaraningdyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang