Kemana Astaka? Dia bilang kita akan berlatih sebelum makan malam, tapi ini sudah sore dan dia belum pulang. Aku jelas tidak tahu pukul berapa ini, tapi aku rasa ini jeda yang tepat antara makan siang dan makan malam. Endrasuta juga mungkin sudah bosan aku tanya bolak-balik di mana Astaka.
Permasalahannya adalah aku sudah lapar lagi. Jika aku makan sekarang lalu beberapa menit kemudian Astaka datang, aku akan muntah saat latihan.
Makan siangku beberapa jam lalu tidak bisa aku nikmati sama sekali. Bertumpuk-tumpuk rasa tidak nyaman hingga membuat perutku mual meski aku harus tetap paksa masuk makanan. Rasa tidak nyaman yang familiar saat aku pertama kali datang ke sini.
Endrasuta membawaku ke meja yang berbeda dari meja makan utama yang biasa. Meja yang berisi Datyani, Denurtri, Dewani, Lingga, dan dua orang yang tidak aku kenal. Kebetulan di meja itu masih ada dua kursi yang kosong.
Saat masuk ruang makan, aku menarik lengan Safield untuk memberi salam ke meja utama. Ayah bangun untuk menepuk bahu Safield dan mempersilahkannya ikut makan. Endrasuta membawa kami ke meja satunya lalu pamit pergi. Aku dan Safield memberi salam dan mengenalkan Safield pada Lingga dan dua orang lainnya.
Mejanya persegi panjang dan ada delapan kursi. Tiga kursi di masing-masing sisi panjang dan satu kursi di dua sisi lebarnya. Datyani duduk di satu kursi di sisi meja, diikuti Denurtri dan Dewani lalu dua kursi kosong, dan tiga kursi di seberang terisi Lingga bersama dua orang yang tidak aku kenal.
Pilihannya adalah aku duduk di satu kursi di sisi meja dan bersebelahan langsung dengan Lingga atau duduk berhadapan dengannya. Dewani belum tentu nyaman duduk bersebelahan dengan Safield, jadi ku memutuskan duduk berhadapan dengan Lingga.
Aku sempat kebingungan ketika Safield menarik kursiku. Perlakuan yang aku pikir sama sekali tidak dilakukan di sini. Aku tersenyum berterima kasih lalu Safield duduk di sebelahku.
"Silahkan makan, Safield." Kata Datyani.
"Terima kasih." Safield mengatupkan kedua tangannya sambil menunduk hormat.
Tidak bisa ada yang bisa aku paksakan masuk dengan memakan nasi dengan berbagai lauk dan sAyur yang ada. Aku mengambi ubi rebus yang sangat aku suka. Setiap Cindhe membawakan banyak nasi dan lauk pauk, aku akan dengan senang hati lebih memilih ubi rebus yang manis. Safield melakukan hal yang sama.
"Danastri." Aku menoleh dengan malas mendengar Datyani menyebut namaku. "Kau melewatkan acara perkenalan."
Huft.
Safield berhenti mengupas ubi di piringnya ketika aku bangun dari duduk. Ia ikut berdiri bersamaku. Mereka semua berhenti makan untuk menyimak.
"Salam. Saya minta maaf atas keterlambatan saya." Aku mencoba berbicara senormal mungkin di hadapan mereka. "Saya Danastri, putri ketiga Paduka Karkasa."
Safield memandangku cukup lama. Terlihat ragu untuk mengeluarkan suaranya dalam bahasa yang bukan bahasa dia. Aku tersenyum meyakinkannya.
"Saya-" Safield berhenti untuk berdeham. Di bawah meja aku meraih pergelangan tangannya. "Saya Safield Dussel, pedagang dari negeri jauh."
Aku rasa begitu cara Parwoko mengajarinya untuk memperkenalkan diri. Safield buru-buru menarikku duduk setelah ia selesai berbicara.
"Salam kenal, Ndoro Danastri, Safield." Lingga seperti kebanyakan orang di sini memanggil Safield dengan 'Safil'.
"Kau tidak akan ingat, tapi mereka pernah datang waktu kecil." Danastri jelas hanya berbasa-basi.
Dalam keadaan normal, aku akan menjawab 'Iya. Udah tahu dari Denurtri.' Aku mengangguk-angguk pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Keeper : Maliaza Ambaraningdyah
Ficção HistóricaNOTE// Cerita ini murni fiksi dan khayalan saya. Tidak bermaksud menyinggung kalangan manapun. Satu lukisan menarik perhatianku. Itu hanya lukisan hitam putih yang terlihat sangat tua berbingkai cokelat kayu, sederhana dengan seorang gadis yang meng...