#46

205 30 0
                                    

Aku bangun dalam keadaan napas yang berat dan cepat. Aku terbangun seperti kehabisan napas, seperti ketika flu dan hidung mampet lalu ketiduran. Aku akan terbangun dalam keadaan kaget sambil menarik napas dalam.

Tubuhku tegak menjauh dari sandaran bantal. Napasku terengah-engah seperti aku baru saja berlari berkilo-kilo jauhnya. Dadaku masih sama beratnya sebelum aku tertidur. Aku mengusak mataku yang terasa bengkak dan lembab. Wajahku lengket karena air mata yang mongering.

Jendela yang terbuka di ruangan tempatku beristirahat masih terbuka. Tapi aku lihat bahwa langit mulai gelap. Aku menoleh ke sekeliling ruangan dan tidak mendapati siapapun ada di sini. Makanan yang dibawakan Lingga sama sekali tidak tersentuh.

Beberapa menit aku duduk diam memandangi jendela, dari luar aku mendengar suara kentongan di ketuk tiga kali. Tidak lama kemudian seseorang mengetuk pintu kamar. Aku menyahutinya dengan gumaman.

"Permisi, Ndoro."

Tidak perlu menoleh aku tahu kalau itu Lingga. Dia berjalan masuk membawa dua lampu minyak. Lingga meletakkan salah satu lampu minyak di meja di samping temat tidur. Aku menoleh menghadapnya.

"Kau belum makan?" Tanya Lingga. Aku menggeleng pelan. "Sudah mulai gelap. Biarkan saya menutup jendela dan menggantung lampu."

Lingga berjalan menuju jendela dan menutupnya. Ia menggantung lampu minyak yang dibawanya di seberang tempat tidur. Setelah itu berjalan medekatiku dan berlutut di sampingku.

"Nanti saya ambilkan yang baru. Kau mau nasi?" Aku menggeleng sekali lagi. "Kau harus tetap makan."

"Di mana tasku?"

Tas adalah yang pertama yang aku ingat. Tas berisi belati dan kotak kayu kecil pemberian ibu. Tas rajut kecil yang selama perjalanan aku selempang di bahuku.

"Tas?"

"Tas miliku."

Lingga berjalan menuju kursi panjang tempat bibi Dasih tertidur tadi siang. Di samping kursi itu ada meja berlaci. Lingga membuka lacinya dan mengeluarkan tas kecilku dari dalam sana.

"Kau benar-benar menggenggam tas ini begitu erat dan tidak ingin melepaskannya sampai kau selesai diobati."

Benarkah? Aku sama sekali tidak ingat dan tidak sadar.

Aku merebut tasku dari tangannya dan menumpahkan isinya. Kepingan-kepingan uang berjatuhan, ada belati yang tidak tersarung dengan benar, dan sebuah kotak kayu kecil. Aku memasukan belatiku ke dalam sarungnya dan mengancingnya.

"Kau dibekali sebuah belati?" Tanya Lingga kaget.

Aku meliringnya sekilas. "Kamu tidak tahu apa yang terjadi padaku selama ini."

"Saya turut berduka dengan apa yang sudah terjadi." Aku menghindar sehalus mungkin ketika tangan Lingga ingin meraih tanganku. ia berdeham sambil menarik kembali tangannya. "Ibuku ingin menemuimu jika kau berkenan."

"Terima kasih." Aku mencoba tersenyum. "Aku benar-benar ingin sendiri."

"Baiklah."

Lingga mengeluarkan kayu kecil yang ujungnya menghitam bekas bakaran. Ia membakar ujung kayu yang hitam ke lampu minyak di atas meja untuk menyalakan lilin.

"Terima kasih, Lingga." Aku mencoba menghargai usahanya.

Lingga tersenyum. Ia membawa kembali lampu minyak dan piring berisi ubi dan jagung. "Biar saya ambilkan makan yang hangat."

Berjam-jam berikutnya aku hanya duduk menggenggam kotak kayu yang diberikan Nyai Kinasih tanpa berani membukanya. Lingga sudah membawakan ubi dan jagung rebus hangat. Ia juga membawakan teko minum. Aku memakan tidak sampai setengah ubi ungi yang disuguhkan.

The Past Keeper : Maliaza AmbaraningdyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang