#8

472 49 5
                                    

Sore ini aku baru sadar kalau Danastri adalah seorang pelukis yang cukup handal. Ada banyak lukisan realisme kasar di sisi lain kamar. Ya, setidaknya dengan alat terbatas yang ada di sini, lukisannya terlihat menakjubkan.

Jendela yang ada di ruang lukis Danastri terbuka lebar. di depan jendelnya ada sebuah kanvas kosong dan kursi pendek. Aku duduk di salah satu kursi yang mungkin biasa digunakannya untuk melukis. Kebanyakan lukisannya adalah suasana rumah, alam sekitar, dan beberapa anggota keluarga.

Ada sebuah kotak yang berisi arang dan beberapa pewarna. Aku mengambil sebongkah kecil arang lalu memandangi kertas kosong di hadapanku, berpikir bagaimana caranya Danastri melukis menggunakan peralatan seperti ini.

Aku mendengar suara tawa para pelayan yang melewati taman di sebelah kamar, mereka membawa keranjang-keranjang kain dan baju kotor yang siap di cuci, lalu ada suara ringkikan kuda, tawa Dewani, dan teriakan beberapa lelaki yang mencoba menghentikan Dewani membawa kuda masuk ke dalam rumah.

"Mbak Astri?"

Aku mendengar suara pintu terbuka dan teriakan Dewani. Gadis itu sampai di hadapanku dengan napas yang memburu dan sisa tawa.

"Ada apa?"

Dewani melihat tanganku yang menggenggam arang lalu tersenyum sebelum menjawab pertanyaanku, "Ayo lukis Dewani."

APA?!

"Lain kali, ya." Aku tersenyum dan meletakan arang itu kembali pada tempatnya, "Kita bermain saja di luar?"

"Kenapa?" Dewani hendak menahanku sebelum aku menariknya keluar kamar.

"Tidak apa-apa."

Suasana sore hari agak lebih menyenangkan, entah karena aku sudah mulai terbiasa atau memang hawanya yang lebih bersahabat. Dewani menarikku ke taman di samping rumah yang banyak di tumbuhi tanaman berbuah.

Sekali lagi aku mendapati Datyani yang memandangku tidak suka. Aku julurkan lidahku padanya sambil menjulingkan mata, tidak peduli kalaupun Danastri tidak akan pernah melakukan itu pada kakaknya.

Jauh di luar tembok-tembok tinggi itu terdengar suara berisik. Walau samar-samar, aku tahu suara itu lebih terdengar seperti pasar. Aku tahu di luar dinding sisi depan tempat aku masuk pertama kali adalah hutan dan aku ingin tahu ada apa di balik dinding-dingding lainnya.

Dewani mengajakku duduk bersama Datyani dan Denurtri. Putri tertua itu memandangku risih sebelum duduk menjauh memberi ruang padaku dan Dewani. Dia juga terlihat tidak begitu menyukai adik terkecilnya, hanya saja Dewani terlalu lugu.

"Hush, hush, hush."

Aku menoleh dan mendapati Dewani sedang mengursir seekor anak kucing yang mencoba mendekati kami. "Kenapa, Dewani?" Kucing abu-abu itu aku angkat ke pangkuanku. Aku mengelus perutnya dan kucing itu menggigiti jemariku.

Tidak mendapati jawaban dari Dewani, aku mengangkat wajahku dan memandangnya. Dewani membulatkan matanya dengan mulut terbuka. Denurtri yang duduk di hadapanku, yang dari tadi tidak menggubris aku dan Dewani karena sibuk membaca buku mengangkat kepalanya dan memandangku datar. Datyani mengubah wajah menyeramkannya menjadi sangat tidak etis.

"Astri?"

Aku beralih pada Denurtri, "Apa?"

"Sejak kapan kau suka hewan?" Tidak ada ekspresi di wajah Denurtri.

Apa seharusnya Danastri tidak seperti ini?

"Sejak-" Saat aku sedang berusaha berpikir, satu suara datang dari belakangku.

"Ndok, kalian sedang apa?" Aku menoleh dan mendapati ibu berjalan menuju tempat kami duduk bersama beberapa pelayannya yang membawa mangkok berisi potongan buah.

"Ibu, lihat Danastri." Datyani menunjukku dengan jari telunjuknya yang panjang. Aku menepis tangan itu dari hadapanku sambil memasang wajah meledek.

Ibu menoleh dan mendapati aku yang masih mengelus-elus kucing di pangkuanku, "Danastri, sejak kapan kau suka hewan, ndok?"

"Sejak-?" Berpikirlah. "Sejak Astri berpikir, kenapa Astri harus tidak suka pada hewan?" Aku mengangkat kucing ini ke depan hingga Dewani harus memundurkan tubuhnya menjauh. "Lihat! Tidak ada yang salah, kan?"

"Apa?" Satu sewotan ngegas keluar lagi dari mulur Datyani.

"Jadi boleh Astri bawa dia ke kamar?" Semua semakin memasang wajah kagetnya, bahkan wajah anggun ibu merubah seperti Dewani.

Ibu sadar dan memperbaiki mimik wajahnya, dengan senyum enggan ia menjawab, "Asal kau memastikan dia tidak mengotori kamarmu dan seisi rumah."

"Baiklah." Aku segera bangkit dan berlari menjauh dari sana, tidak peduli teriakan mereka yang menyebut namaku. Nama Danastri maksudnya.

.

Kain yang aku gunakan sudah tidak seperti tadi pagi, di mana Cindhe melilitkannya dengan ketat di pinggangku. Kain ini menjadi rok longgar yang bebas aku gerakan.

Terlalu banyak ruangan di rumah ini, setiap lorongnya bercabang menjadi perapatan. Aku terus berjalan cepat kemanapun aku mau dengan kucing kecil ini di gendonganku.

"Waaaah!" Aku berhenti mendadak ketika akan menabrak orang di belokan.

"Ndoro Danastri?"

Aku mendongak dan mendapati dua orang berpakaian seperti Astaka. Seorang bertubuh besar dan gagah seperti ayah dan seorang lagi aku mengenalnya, Batara.

"Ada apa?" Batara melihat ke belakangku seperti mencari apa yang mengejarku.

"Hm?" Aku melirik lelaki di sebelah Batara. Dia memperhatikan ku dari atas hingga bawah dengan mata tajamnya. "Tidak ada." Aku mencari celah di antara mereka agar aku bisa lewat. "Permisi."

Aku baru saja hendak berlari lagi sebelum suara tegas di belakang mengintrupsiku.

"Tunggu!"

Aku berhenti, "Ya?" Tanpa berbalik aku menjawab.

"Saya Lawana, jika Ndoro tidak ingat."

Aku tidak suka suara dan intonasinya. Terdengar seperti, 'Aing téh lalaki paling kuat di dieu. Ulah niyeun masalah ku aing.' Lalu aku akan jawab, 'Hei, bapa aing raja di dieu. Manéh téh cuma pangawal. Teu sabanding ku bapa aing.'

Aku berbalik, "Oh." Dan aku mendapati pandangan yang sama dengan yang Datyani berikan padaku, "Salam." Aku menunduk sekilas sebagai pengganti tanganku yang sedang menggendong kucing. "Saya permisi."

Aku berhenti di taman samping kamar lalu duduk di kursi dekat kolam. Kucing ini menggosokan kepalanya dilenganku. Aku tersenyum dan kembali mengelus tubuh kecilnya.

Aku mendongak melihat langit yang mulai gelap. Itu artinya satu malam lagi aku habiskan di tempat ini. Jelas aku tidak suka. Tetapi yang paling penting adalah aku tidak tahu bagaimana caranya menjadi Danastri. Aku tidak tahu bagaimana caranya menjadi Putri.

Putri yang satu ini harusnya begitu anggun, bertutur kata baik, berperilaku sopan. Tapi aku tidak begitu. Maksudku, dari era yang berbeda jelas aku tidak bisa mengikuti adatnya.

Danastri tidak menyukai hewan, dia begitu senang dengan tumbuhan. Sedangkan aku? Aku adalah calon dokter hewan. Danastri tidak pernah pergi ke dapur, dia begitu pandai melukis. Bukan artinya aku pandai memasak dan tidak bisa melukis, hanya saja aku masih suka membuat makananku sendiri di dapur dan aliran ku dengan Danastri berbeda. Aliranku lebih modern seperti karikatur dan abstrak seperti zentangle. Aku jelas tidak bisa melukis realisme seperti yang dia lakukan.

The Past Keeper : Maliaza AmbaraningdyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang