Di luar mungkin delapan orang pengawal sudah terkapar bahkan sebagian memuntahkan darah. Di dalam keadaan jauh lebih parah.
Aku diam di depan pintu memandangi pemandangan mengerikan yang ada. Beberapa orang yang memuntahkan darah sudah terkapar tidak sadarkan diri. Orang-orang yang merasa mereka baik-baik saja membantu mereka yang muntah-muntah untuk menenggak air putih.
"Tolong jaga Sura." Kataku pada Lingga.
Satu tarikan napas aku memasuki rumah melewati orang-orang yang dengan menjijikan memuntakan isi perutnya di lantai. Aku berjalan terus menuju ruangan dalam. Hal yang sama terjadi pada orang-orang.
Bibi Sadah terlihat sedang menopang tubuh bibi Yuti yang melakukan hal yang sama. Berusaha memuntakan isi perutnya. Denurtri mengusap-usap punggung anaknya paman Djati sekaligus menawarkan minum pada istrinya paman Djati.
Datyani yang terlihat syok berdiri merapatkan tubuhnya pada dinding kamar. Matanya bergerak liar ke sana ke mari. Ketika matanya menangkapku, ia berhenti. Memandangku horror.
Aku berjalan mendekatinya.
"Lawana ada di sana. Saya lihat Lawana melakukan semuanya." Bisikan Datyani justru terdengar seperti geraman.
Aku tahu di mana letak dapur.
Langkahku berbelok menuju dapur. Berjalan cepat menyusuri halaman samping Rumah Perintah menuju bangunan sebelahnya. Tempat di mana dapur seharusnya berada. Halaman yang juga terdapat beberapa pelayan yang sedang muntah-muntah.
"DEWANI!"
Pintu menuju dapur aku dorong keras hingga terbanting membentur tembok. Dewani duduk menyandarkan pinggulnya pada meja. Kedua tangannya terlipat di depan dada. Ketika aku membuka pintu kasar, kepalanya terangkat memandangku dengan tatapan yang bukan Dewani.
"Sudah gila kamu?" Aku berdiri berseberangan darinya.
Cahaya lampu minyak yang ada di atas Dewani menerangi wajah manis Dewani yang murah senyum kini menjadi datar dan dingin. Anak itu perlahan berdiri tegak lalu mulai membuka kancing kebaya yang digunakannya. Dewani melepas kebayanya hingga menyisakan kemben hitam.
Di bahu kanan hingga ke lengan atas ada bekas luka bakar. Dewani yang selama ini jarang aku lihat mengenakan kebaya jadi senang sekali menutupi bahunya karena luka bakar.
"Saya pikir kau akan mati sekalian ketika ledakan terjadi. Kau sudah terguling-guling, menghantam pohon, tubuhmu sudah berlumuran darah." Kata Dewani sambil meraih pisau di atas meja. "Masih juga kau hidup? Bahkan setelah diburu Lawana dan anak buahnya?"
"Kenapa kamu?"
"Tidak kenapa-kenapa." Jawab Dewani mengangkat bahu santai. "Kau hanya terkejut bahwa ini saya."
"Kamu yang ada di sana, kan? Kamu yang berdiri di atas sana, di samping kobaran api."
Dewani tertawa dan kembali menyandarkan pinggulnya ke meja. "Bukan hanya itu, Mbak. Dewani juga yang menembakan panahnya." Kata Dewani berbisik
Terlalu banyak kejutan yang terjadi hari ini. Sudah tidak bisa lagi aku menampungnya.
"Itu ayah dan ibumu, Dewani." Kataku hampir berteriak
"Ck, ck, ck." Dewani berdecak lidah lalu melipat kedua lengannya di depan dada. Masih memegang pisau. "Menjadi anak tertua, Mbak Yani mendapatkan segala apa yang ia inginkan tanpa diminta. Ayah memberikan seluruh ruang membatik untuk Mbak Denur. Kau dibangunkan taman di samping kamarmu karena kau senang tanaman dan bunga-bunga."
"Apapun yang Dewani inginkan, mereka akan bilang 'Mbakmu kan punya. Bergabunglah bersama mereka. Pinjamlah milik Mbakmu'. TIDAK MAU, DEWANI MAU MILIK DEWANI SENDIRI."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Keeper : Maliaza Ambaraningdyah
Historical FictionNOTE// Cerita ini murni fiksi dan khayalan saya. Tidak bermaksud menyinggung kalangan manapun. Satu lukisan menarik perhatianku. Itu hanya lukisan hitam putih yang terlihat sangat tua berbingkai cokelat kayu, sederhana dengan seorang gadis yang meng...