#38

236 29 1
                                    

Sejak pagi Cindhe sudah semangat membangunkanku. Pelayan-pelayan Danastri mengantarkan beberapa makanan untuk sarapan. Aku sengaja bangun agak siang untuk mengumpulkan energi lebih banyak. Cindhe sibuk merapihkan peti-peti pakaian yang akan dibawa dan satu peti kecil untuk pernak-pernik dan perhiasan.

Sarapan yang dibawakan pelayan Danastri berupa ubi dan jagung rebus. Aku duduk di kursi panjang mengangkat kakiku ke atas meja memakan ubi yang sudah dikupas. Sunah duduk di pangkuanku kenyang dengan sarapan keduanya pagi ini.

Pintu kamarku diketuk ketika aku menghabiskan ubi keduaku. Pelayan yang dekat pintu membukakan pintu.

"Ndoro Ayu, ada Mas Endrasuta."

"Buka pintunya."

Endrasuta tidak mungkin berani masuk, ketika pintu dibuka lebar ia berdiri tegap di depan pintu. Tidak selangkahpun memasuki kamar.

"Ndoro jika barang-barangnya sudah siap bisa kami antar ke depan." Dari raut wajahnya aku bisa lihat dia agak kaget aku belum siap apa-apa. "Nyai Kinasih meminta saya melihat apakah Ndoro Danastri sudah siap." Dan aku tahu dia bohong.

"Iya sebentar lagi aku siap. barangnya nanti saja sekalian. Kamu tunggu sebentar di luar."

Endrasuta mengangguk singkat dan membalikkan badan.

Pelayan Danastri sudah selesai menyiapkan bak mandi dengan segala bunga-bunganya. Mereka juga sudah menyiapkan handuk.

Aku berendam cukup lama, membasuh, dan mengusap seluruh tubuhku pelan-pelan. Kelopak bunga yang tersebar di seluruh bak mandi aku remas dan aku usap ke seluruh tubuhku. Saat-saat seperti ini aku rasa mulai merindukan sabun dan sampo.

Cindhe menyiapkan pakaian sederhana untuk bepergian. Kain batik hitam merah dan kebaya cokelat polos. Aku meminta Cindhe mengepang rambutku dan membiarkan terjuntai panjang.

Dia bercerita ia membawakanku beberapa tusuk konde, bros, dan pita-pita ikat rambut. Ketika ia bicara bros, aku melirik kotak kaca perhiasan Danastri dan bros dari Safield masih ada di sana. Cindhe tidak tahu kalau itu bros dari Safield.

"Cindhe aku mau pakai ini." Aku mengeluarkan bros itu dari kotak dan menyerahkannya pada Cindhe.

"Brosnya cantik. Saya pikir ini milik Ndoro Datyani terbawa. Saya baru lihat." Cindhe mengusap batu tengah bros, mengangkatnya dan menerawangnya ke atas. Sinar matahari menembus batu biru di tengah bros.

Atas dasar apa pula barang Datyani bisa sampai ke kamar ini.

"Saya pakaikan untuk mengganti kancing." Cindhe memasangkan bros untuk mengganti kancing di tengah dadaku.

Tidak repot diketuk, pintu kamarku terbuka dan Dewani masuk. Dia sudah siap untuk menyeretku keluar kamar. Aku membawa Sunah untuk ikut sampai depan.

Peti-peti pakaian sudah ditumpuk dan mulai di masukan ke dalam kereta kuda khusus barang-barang. Ada tiga kereta kuda untuk membawa peti barang-barang dan satu kereta kuda untuk membawa oleh-oleh dan hadiah untuk keluarga paman Janitra.

Semua duduk di ruang tamu sampai persiapan keberangkatan selesai. Aku duduk di meja kecil dekat jendela yang terbuka bersama Dewani. Sunah berdiri di pangkuanku, kedua kaki depannya naik ke atas kusen jendela. Ia melihat-lihat ke luar, memerhatikan burung-burung yang beterbangan di taman depan.

"Cindhe, kamu boleh pulang. Bawa ikan-ikan yang ada di dapur dan bawa Sunah bersamamu." Cindhe yang duduk bersimpuh di bawah mengangguk ragu. "Kamu boleh kembali mengambil makanan Sunah jika sudah habis. Tidak apa-apa nanti aku bilang ibu bahwa aku yang menyuruhmu pulang."

Aku tidak pernah memegang uang. Tapi aku tahu Danastri punya uang. Laci di meja kecil samping meja rias ada kantung-kantung kecil tempat Danastri menyimpan uang. Aku keluarkan beberapa keeping koin dari dalam tas rajut kecil yang aku bawa lalu aku serahkan ke tangan Cindhe.

The Past Keeper : Maliaza AmbaraningdyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang