"Kau baik-baik saja, Ndok?" Bibi Dasih bertanya sambil menuntunku masuk.
Aku berdiri di teras, tidak selangkahpun mau memasuki rumah. Orang-orang menoleh dan berteriak kaget melihatku berdiri di depan pintu. Mereka mengucapkan kalimat-kalimat syukur sekaligus kaget. Sebagian tubuhku dipenuhi darah dan aku masih menggenggam belati yang juga penuh darah di tanganku.
Kepalaku sudah kosong. Pikiranku melayang dan lelah. Aku menarik tanganku ketika bibi Dasih dan Denurtri mengajakku masuk. Tubuhku berbalik dan aku duduk di undakan tangga, memandang jauh ke puncak gunung yang terlihat karena sinar rembulan.
Sebagian tubuhku terutama punggungku terasa lengket oleh darah yang mulai mengering. Aku membolak-balikan tanganku yang juga penuh darah. Kedua tanganku gemetar mengingat apa yang sudah aku lakukan. Mungkinkah aku membunuh anak buah Lawana di hutan?
Aku tetap diam terus memandangi puncak gunung ketika seseorang meletakkan nampan berisi air teh dan ubi rebus kesukaanku. Tidak ada setitikpun niatku untuk menyentuh makanan dan minuman.
"Ndok."
Aku menoleh cepat dengan pandangan tajam dan dingin. Paman Djati duduk tidak jauh dariku.
Paman Djati memandang ke arah yang sama denganku. Aku dengar ia menghembuskan napas, menarik napas, meghembuskan napas. "Paman tidak mempunyai fisik seperti ayahmu atau kemampuan berpedang seperti Umboro atau otak secerdas Purwanka." Paman Djati memegang gelas teh di tangannya. "Malam itu, paman masih bisa bertahan sebentar. Umboro berteriak dan meminta paman berlari ke desa bawah mencari bantuan. Paman ambil satu obor lalu mulai berlari hingga ke desa bawah untuk membantu ke atas dan mengirim pesan pada Janitra."
"Paman minta maaf tidak bisa melakukan apapun untuk menolong ayah dan ibumu. Paman minta maaf tidak mampu membantu di sana lebih jauh. Kau sungguh hebat dan berani malam itu. Karkasa dan Kinasih pasti bangga sekali memilikimu."
"Kemarin saat Datyani sakit, pelayan di ruang makan melaporkan kalau dia melihat ada ada botol obat kecil di tempat sampah. Orang yang terakhir kali dilihat makan bersama Datyani adalah kau dan Dewani."
Dewani makan bersama Datyani pagi itu.
"Paman minta maaf harusnya paman bisa menyelidiki lebih lanjut sebelum memanggil mu dan Dewani."
"Apa lagi yang paman ketahui tentang malam itu? Apa lagi yang paman lihat?"
Aku tidak ingin tahu lagi apapun soal Datyani.
"Malam itu?" Paman Djati terlihat berpikir sebentar lalu menyesap teh di gelasnya. "Seteleh kereta kudamu terguling, mereka menyerang kami. Yuti menarik Dewani untuk bersembunyi di dalam kereta kuda, meski dia berteriak ingin bersama ayah dan ibunya."
"Paman berlari ke desa bawah. Sampai desa bawah paman membunyikan kentongan, membangunkan orang-orang."
"Saat paman kembali dengan bantuan, sudah ada kobaran api besar. Semua orang terluka dan kalap dengan apa yang terjadi. Mereka mengangkat Sadah, kau, dan pelayan-pelayan yang terluka dari bawah. Yuti dan Dewani juga sudah direbahkan karena luka-luka mereka. "
"Apa yang terjadi padaku saat itu? Apa yang terjadi pada Dewani?"
Aku terkesan mengumpulkan cerita orang-orang dari berbagai sisi dan sudut pandang.
"Kau tidak ingat?"
Aku menggeleng pelan.
"Paman tidak tahu. Kau dan Dewani terlempar karena ledakan. Lengan dan telingamu berdarah. Dewani mendapat luka bakar di bahu kanannya."
Aku beralih kembali memandang puncak gunung. Mencoba merangkai cerita yang orang-orang sampaikan padaku. Menyambungkannya dengan sekelebat cuplikan film yang dilampilkan di layar besar.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Keeper : Maliaza Ambaraningdyah
Ficção HistóricaNOTE// Cerita ini murni fiksi dan khayalan saya. Tidak bermaksud menyinggung kalangan manapun. Satu lukisan menarik perhatianku. Itu hanya lukisan hitam putih yang terlihat sangat tua berbingkai cokelat kayu, sederhana dengan seorang gadis yang meng...