#23

307 36 6
                                    

Suatu sore, mendadak Paduka Karkasa memperbolehkan aku untuk duduk bersamanya, menonton Astaka dan Yugala melatih beberapa pasukan kecil. Katanya jangan sampai ketahuan ibu kalau aku ikut duduk di sini bersamanya, dia akan marah.

Semua orang semakin sadar kalau aku semakin sering berkuda, aku sering duduk di dekat kandang kuda dan memandikan Ambar. Orang-orang mengadukannya pada ayah dan bertanya apakah Astaka mengajariku berkuda. Takutnya dia juga mengajariku memanah, bela diri, dan hal lainnya.

Kemarin malam, Astaka baru dipanggil para petinggi dan ditanya-tanya banyak hal. Aku di kamar ketakutan setengah mati kalau mungkin mereka akan mencurigai sesuatu. Kalau mungkin mereka akan mendesak Astaka atau menghukumnya karena kelakuanku. Beruntungnya, Nyonya Besar tidak termasuk ke dalam pertemuan itu. Kalau ada, selesai sudah hidup kami berdua.

"Ndo-"

"Boleh tanya sesuatu?" Agak kaget ternyata ayah juga ingin bicara.

"Ya? Kenapa, Ndok?"

"Orang-orang kulit putih itu, sedang apa di sini?" Aku tidak selalu bersama mereka saat pertemuan-pertemuan kepentingan kerjasama. Aku juga tidak memahami dari awal apa yang terjadi antara mereka. Sedangkan Astaka memintaku untuk memastikan bahwa kami tidak akan ditipu. Apapun itu, kedatangan bangsa Eropalah awal mula penjajahan, kan?

"Perdagangan, Ndok. Mereka membeli sebagian hasil perkebunan kita dan membayarnya, lalu dibawa lagi ke tempat asal mereka."

"Ayah percaya mereka?" Aku duduk bersila menghadapnya.

"Danastri." Ayah tiba-tiba menarik kain rokku hingga menutupi lutut. "Memang kenapa?"

"Bahasa mereka berbeda, kita sulit memahami satu sama lain." Sebelah tanganku menunjuk ke arah lapangan, tepat ke Astaka. "Mereka bertengkar karena salah paham, sampai Parwoko hampir jadi korban."

Aku melihat pria ini tersenyum kecil sebelum berkata, "Mereka siapa?"

"Astaka dan Safield."

"Ayah dengar kau dan Safield sering bicara."

Satu helaan napas kasar yang aku keluarkan membuat ayah tertawa. "Jelas-jelas dia yang berbicara aku tidak mengerti apa yang dikatakannya."

"Dengar Ndok, percayakan pada pamanmu, ya?" Kata ayah sambil menepuk punggungku pelan.

"Kenapa paman Purwanka pergi dari rumah waktu itu?" Aku teringat cerita Parwoko tentang paman Purwanka saat Safield mendatangiku sore kemarin.

"Biasa, masalah anak muda." Hanya itu jawaban ayah lengkap dengan senyumnya. "Pamanmu baru mulai kembali saat kakekmu meninggal dan sampai waktu Denur masih kecil. Membawa pulang bibi dan sepupumu." Ayah melipat tangan di depan dada, lalu bersandar pada pohon. "Karena pamanmu mengenal dunia luas, belajar banyak hal dari perjalanannya, kita bisa seperti ini."

Seorang gadis seumuran Dewani yang aku tahu sebagai anaknya paman Purwanka sering aku lihat berada di tempat membantik bersama Denurtri dan anak laki-lakinya yang seumur Denurtri berdiri di sana, di tengah lapangan berhadapan dengan Yugala.

"Tadi Ayah mau bilang apa?" Tanyaku teringat kalau dia juga ingin bicara.

"Apa?" Keningnya berkerut untuk berpikir sebentar. "Oh." Sebelah tangannya terulur meraih tanganku. "Ayah baru lihat kau pakai gelang seperti ini."

Aduh.

"Oh, ini-" Ayo berpikir bodoh.

"Astaka yang membelikannya?"

Apa dia akan marah kalau aku jawab 'iya'?

"Bukan. Aku yang memintanya." Kataku pada akhirnya. "Waktu itu, di pasar."

The Past Keeper : Maliaza AmbaraningdyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang