#51

195 23 3
                                    

Hal terakhir yang aku ingat sebelum tertidur adalah aku menangis sesenggukan sambil memeluk buku yang paman Purwanka berikan.

Aku terbangun di atas tempat tidur masih memeluk buku. Belum ada yang masuk ke dalam kamarku. Tidak ada Cindhe dan tidak ada Astaka. Biasanya jendela-jendela kamar sudah terbuka bahkan sebelum aku bangun.

Sudah tidak tahu lagi sebengkak apa mata dan wajahku. Sekali lagi aku terbangun dengan sensasi yang sama di wajahku. Lengket, berat, dan terasa bengkak terutama di mataku. Aku butuh es batu untuk mengompres seluruh wajahku atau paling tidak air dingin.

Aku duduk di atas kasur membelai-belai Sunah hingga ada seseorang yang mengetuk pintu kamar. Beberapa ketukan dan aku tidak menyahut, pintu sedikit terbuka. Kepala Astaka mengintip masuk.

"Kau sudah bangun?"

Aku hanya mengangguk. Astaka masuk dan menutup kembali pintu kamarku. Ia duduk di samping tempat tidur di sampingku. Tangannya terulur untuk membelai wajahku.

"Apa kalian punya es batu atau air dingin? Aku harus mengompres wajahku." Rasanya berat untuk membuka mataku. Bukan karena masih mengantuk tapi karena mataku bengkak.

"Saya seduhkan air teh, ya?" Tangan Astaka menyingkirkan rambutku yang lengket di wajah. "Saya seduhkan teh hangat untuk kompres wajah."

Biasanya aku selalu mengompres wajah dengan air dingin atau hancuran es batu. Aku tidak tahu apakah air teh bisa mengurangi bengkak di wajahku atau tidak. Akhirnya aku mengangguk pelan.

Astaka keluar dari kamarku untuk pergi ke dapur. Aku bangun dan duduk di kursi di tengah kamar menunggu Astaka kembali.

Kamarku masih dalam keadaan gelap. Jendela-jendela belum terbuka dan semua lampu minyak dan lilin di matikan sejak malam. Sinar-sinar matahari hanya menerobos masuk melewati fentilasi.

Beberapa saat aku menunggu pintu kamarku terbuka dan Astaka masuk membawa segelas besar teh hangat. Ia meletakkan gelas itu di meja di hadapanku lalu beralih ke lemari untuk mengambil kain handuk kecil. Astaka berlutut di hadapanku, ia memasukan handuk ke dalam gelas beberapa kali lalu memeras kainnya.

"Mendongak!"

Aku bersandar pada kursi dengan posisi kepala mendongak. Bibirku merasakan sentuhan lembut singkat sebelum seluruh wajahku tertutup oleh kain hangat.

Samar-samar aku melihat cahaya masuk ke dalam kamar. Kamarku menjadi terang benderang. Astaka membuka seluruh jendela kamar.

Setelah membuka seluruh jendela, Astaka kembali dan mengambil kain di wajahku. Ia mengulangi kegiatannya dengan mencelupkan kain ke dalam gelas, memerasnya, dan kembali meletakkanya di wajahku.

"Jadi pergi?" Tanya Astaka.

Aku mengangguk.

"Cindhe sedang menyiapkan sarapan. Setelah kau sarapan dan mandi kita pergi bersama Yugala."

Aku mengangguk lagi.

"Apa yang paman Purwanka katakan semalam?" Tanya Astaka.

"Hm?"

"Kalian semalam berbicara, kan? Mereka mendengarmu bahkan kalian berdua menangis kencang." Mereka yang Astaka maksud adalah pengawal yang berjaga di sekitar kamarku.

Ketika Astaka bertanya seperti itu, hal pertama yang muncul di kepalaku adalah bahwa paman Purwanka ingin aku pergi dari sini jika ada kesempatan.

"Buku." Jawabku.

Astaka diam beberapa saat. "Saya tidak mau bicarakan itu karena kau pasti menangis lagi, kan?"

"Kenapa tidak ada yang bilang kalau aku senang dibacakan cerita oleh ayah."

The Past Keeper : Maliaza AmbaraningdyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang