"Lia! Lia! Li, bangun, Li!"
Rasanya sudah ribuan malam aku tidak mendengar nama itu. Rasanya nama itu sudah hampir hilang dari hidupku. Siapa itu, Lia?
Aku merasakan guncangan di bahuku.
"Lia, bangun!"
Guncangan pelan itu beralih ke punggungku menjadi lebih kencang. Mungkin dengan tangan atau kaki.
Ketika kesadaranku mulai kembali. Aku tidak lagi merasakan sakit yang dari tadi aku rasakan. Kepalaku tidak lagi sakit, tulang-tulangku tidak lagi nyeri, luka-lukaku seperti sudah sembuh.
Haruskah aku membuka mata. Sudah siapkah aku menghadapi apa yang akan aku hadapi? Akankah aku ada di ruangan gelap bioskop lagi? atau langsung terlempar ke akhirat?
"ALIA! SUDAH SIANG!" Seseorang berteriak tepat di telingaku. "BANGUN!"
Aku terlonjak kaget. Tubuhku tersentak dan bangun duduk. Telapak tanganku menekan telinga yang berdengung.
"Mbak. Tobat sih kata gua, mah. Jam berapa ini." Seseorang mendorong bahuku. "You're bleeding. Ke kamar mandi sana." Sekali lagi bahuku di dorong. "Tembus ke sofa. Jorok!"
Aku menoleh dan mendapati Mef berjalan pergi dengan yogurt di tangannya dan sendok di mulutnya.
Di atas sofa aku duduk memegang keningku, menumpu kepalaku yang terasa berat. Satu tanganku terulur ke belakang mengusap keringat di tengkuk belakang. Bagian bawahku terasa lembab dan lengket. Buru-buru aku bangun dan meraba bagian belakangku.
Basah.
Sofa tempatku tertidur terdapat bercak darah. Untungnya sofa itu berbahan kulit sintetis berwana cokelat muda. Mudah dibersihan tidak seperti kain. Aku menumpahkan air di atas sofa lalu aku bersihkan dengan tisu.
Kakiku gemetar. Aku berjongkok di lantai, membungkuk, menumpukan tubuhku ke sofa. Lelah sekali rasanya. Rasanya seperti aku habis lari sprint 400 meter. Rasanya seperti selesai satu set olahraga kardio.
Aku menenggelamkan kepalaku ke sofa. Otak dan tubuhku terlalu kaget dengan apapun yang sudah terjadi.
"Li?"
Papih?
Pria itu duduk di sofa. Tangannya yang besar dan hangat mengusap-usap punggungku.
"Mandi, Nak. Ganti baju." Papih masih terus mengusap-usap punggungku. Sesekali menepuk pelan. "Kenapa?"
"Capek." Bisikku.
"Dibangunin Mef, ya?"
Semua orang tahu bagaimana jika aku membangunkan dia tidur atau sebaliknya. Semua orang tahu bagaimana aku bermusuhannya dengan dia.
"Bangun. Mandi dulu." Kata papih lalu pergi ke luar.
Satu tarikan napas, aku bangun dan berjalan pergi dari ruang tamu menuju kamar. Membawa sekalian tisu bekas lap sofa. Buru-buru aku mengambil baju ganti dan handuk lalu berlari ke kamar mandi.
Setelah menelanjangi tubuhku, aku duduk di toilet. Pandanganku menelusuri seluruh kamar mandi yang hanya berukuran 1,5 x 2 meter. Ada toilet duduk yang aku duduki sekarang, bak mandi batu abu-abu, keran air, shower, lantai batu-batu oval putih, rak berisi sabun, sampo, sikat gigi, odol, bodyscrub, dan segala hal lainnya, lampu bohlam di langit-langit bersinar terang benderang.
"HAH!" Aku berjengit kaget ketika pewangi di atas pintu menyomprot otomatis.
Aku masih merasakan lelah yang amat sangat. Rasanya sudah berhari-hari aku tidak tidur. Rasanya aku habis berkegiatan berat hingga tenagaku terkuras habis. Tanganku terangkat mengusap wajah dengan kasar.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Keeper : Maliaza Ambaraningdyah
Ficção HistóricaNOTE// Cerita ini murni fiksi dan khayalan saya. Tidak bermaksud menyinggung kalangan manapun. Satu lukisan menarik perhatianku. Itu hanya lukisan hitam putih yang terlihat sangat tua berbingkai cokelat kayu, sederhana dengan seorang gadis yang meng...