Kami sampai di padang ilalang di pinggir hutan, tempat biasa orang-orang mencari rumput untuk ternaknya. Astaka turun dan mengikat Banu di salah satu pohon lalu ia membantuku turun dari Ambar dan mengikat Ambar pada pohon yang sama. Astaka berjalan mendahuluiku masuk ke dalan hutan.
Aku berlari menyusul dan menubruk punggunggnya. "Kita mau kemana?"
"Ke sungai."
Aku berlari menjauh ketika tangan Astaka terulur untuk mengambil serabi dari tanganku. "Tidak."
"Jangan berlari."
"Wow!" Sungai di hadapanku tidak begitu dalam dan berair jernih, alirannya tidak begitu deras dan banyak batu besar.
"Danastri." Astaka berteriak ketika aku hampir masuk ke dalam sungai. "Kemarilah! Habiskan dulu makananmu."
Jantungku hampir berhenti ketika Astaka melepas kain cokelat dari kepalaku. Ia menggelar kain cokelat itu di tanah lalu duduk di sana. "Sambil duduk, Danastri."
Ragu-ragu aku duduk di samping Astaka, sedikit menjauh darinya. Kenapa pengawal ini tiba-tiba mengajakku keluar dan membawaku ke tempat yang tidak seharusnya?
Tapi aku penasaran sebesar apa peran Astaka di sini. Dia terlihat begitu membawa pengaruh banyak. Terlihat dari bagaimana ayah membanggakannya, teman-teman menghormatinya, dan banyak orang mengaguminya.
"Kenyang." Aku menyodorkan sisa serabi dari bungkus daun pisang itu pada Astaka.
Lelaki ini memandangku sebelum memakan bulat-bulat sisa serabi dari tanganku. "Baiklah." Ia mengambil daun pisang dari tanganku dan membuangnya. "Jangan yang di arus deras."
Aku tersenyum dan berdiri lalu berjalan menuju sungai. Kaki Danastri melangkah menuju batu besar di tengah sungai. Luka memar bekas semalam terlihat semakin jelas. Aku membasuh kakiku dan membersihkannya dari sisa-sisa tanah.
Datyani memang harus di selesaikan.
Ada suara percikan dari seberang sungai. Aku menoleh dan mendapati seekor biawak cukup besar akan menyeberangi sungai.
Don't panic.
"Astaka." Lelaki itu tidak pernah melepas pandangannya dariku. Memastikan bahwa Danastri baik-baik saja. Ia langsung menanggapi panggilanku. "Lihat."
Ia segera berdiri dan berjalan ke arahku, "Danastri, kemari." Astaka mengulurkan sebelah tangannya padaku dan sebelah lagi sudah siap dengan pedangnya.
"No, no, no!" Aku segera menghentikannya. "Jangan." Tangan kiri Astaka yang terulur padaku aku tarik hingga ia melangkah mendekatiku.
"Danastri, hewan itu berbahaya."
"Dia tidak akan mengganggu jika kau juga tidak membuatnya merasa terganggu."
Aku memperlihatkan bagaimana tenangnya biawak itu menyeberangi sungai tanpa menganggap kami yang berdiri tidak jauh darinya. Astaka memandang biawak itu dan aku bergantian dengan pandangan bingung.
Mampus. Danastri harusnya meminta Astaka membunuh biawak itu, kan?
"Lihat?" Aku menekan pipinya hingga kepalanya kembali mengarah pada biawak di sana. "Dia tidak apa-apa."
Astaka memandangku sekali lagi sebelum berjalan ke pinggir sungai untuk kembali ke tempatnya.
"Aah." Refleksku berteriak kaget saat Astaka terpeleset dari pijakkannya. "Hahahahaha..."
"Danastri!" Astaka berteriak dan mendang air ke arahku.
"Seriously?" Mataku membulat kaget karena air yang mengenai wajahku. "Astaka?" Aku membalas menyipratkan air padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Keeper : Maliaza Ambaraningdyah
Fiction HistoriqueNOTE// Cerita ini murni fiksi dan khayalan saya. Tidak bermaksud menyinggung kalangan manapun. Satu lukisan menarik perhatianku. Itu hanya lukisan hitam putih yang terlihat sangat tua berbingkai cokelat kayu, sederhana dengan seorang gadis yang meng...