Bisa gila lama-lama di sini. Setumpuk buku-buku laknat yang aku tidak mengerti bagaimana cara membacanya dan apa maksudnya, seorang wanita lanjut usia yang menerangkan dengan bahasa jawa halus, dan bermacam-macam tumbuhan di sekitarku membuat aku hampir menggila.
'Menghadiri pelajaran guru besar Widyastika' yang Cindhe maksud adalah belajar tentang berbagai macam tanaman, baik tanaman obat maupun tanaman hias. 'Guru besar Widyastika' yang Cindhe maksud adalah seorang wanita tua yang berprofesi sebagai tukang jamu hebat di kerajaan ini.
Dewani duduk dengan tenang di sampingku. Gadis ini menyimak baik-baik apa yang di sampaikan guru Widyastika sesekali ia menoleh ke padaku dan tersenyum menenangkan, sadar bahwa aku kebingungan.
Setelah hampir 2 jam lamanya, pelajaran selesai. Guru Besar Widyastika menyentuh pipiku lembut sambil berkata, "Cepat sehat, Ndok." Lalu pergi meninggalkanku dan Dewani.
"Mbak?" Aku menoleh pada Dewani yang sedang merapihkan buku-bukunya. "Kalau mbak belum sehat, bisa izin tidak mengikuti pelajaran."
"Ya, nanti saja."
Aku dan Dewani bejalan ke luar ruang belajar, menyusuri lorong yang ujungnya mengarah langsung ke lapangan. Di sana banyak prajurit yang sedang berlatih pedang dan bela diri. Ada seorang pelatih bela diri dan dua orang pelatih pedang. Aku kenal salah satu tubuh pelatih pedang itu walau hanya melihatnya dari belakang.
"Ayah!"
Benar, kan?
Dewani berlari menuruni undakan tangga menuju lapangan, menepuk punggung ayahnya lalu tertawa. Paduka Karkasa ikut tertawa lalu memeluk putrinya. Ia menghentikan latihannya lalu melambaikan tangan meminta aku mendekatinya.
Harus manggil apa? Ayah? Terdengar aneh.
"Bagaimana pelajarannya?" Ayah ikut memelukku bersama Dewani ketika aku sampai di hadapannya.
"Mbak Astri mungkin butuh istirahat."
"Kau baik-baik saja, Ndok?" Ayah melihat ku khawatir.
"Ya." Aku tersenyum, "Hanya sedikit lupa dengan apa yang Guru Besar Widyastika ajarkan."
Ayah, Dewani, dan seorang prajurit yang tadi melatih bela diri tertawa pelan. Aku nyengir untuk menetralisir rasa maluku. Prajurit itu mendekat dan bergabung bersamaku, ayah, dan Dewani.
"Saya sudah dengar kabar Ndoro Danastri." Prajurit itu mengatupkan kedua tangannya di depan dada sambil sedikit membungkuk padaku, "Semoga cepat sehat."
"Terima kasih." Aku tersenyum dan ikut mengatupkan tanganku untuk membalas salamya.
"Kalau sudah tahu, perkenalkan kembali dirimu." Dewani memukul main-main lengan prajurit itu.
"Maaf Ndoro, saya Batara pengawal Ndoro Ajeng Dewani."
"Ah?" Oke?. "Salam kenal, Batara." Aku masih mempertahankan senyumku sebaik mungkin, menunggu keajaiban dimana Cindhe datang dan membawaku pergi.
"Dimana Astaka?" Ayah merangkulku dan mengajak kami duduk di bawah pohon rindang.
"Astaka?" Aku diam dan berpikir, mencoba mengingat ke mana kiranya lelaki itu pergi. "Itu dia!" Aku berteriak sambil menunjuk Astaka yang berjalan mendekat bersama seekor kuda.
Lelaki itu bersimpuh memberi hormat pada ayah sebelum ayah menariknya dalam sebuah pelukan hangat dan menyediakan tempat duduk di sampingnya. Raja yang satu ini terlihat begitu bersahabat dengan semua bawahannya seperti yang dikatakan Cindhe.
"Bagaimana?"
"Tidak ada masalah. Panen berjalan lancar, lumbung terisi penuh, kami menangkap perompak di pasar, menangkap pedagang gelap, dan semua baik-baik saja." Astaka menjelaskan hasil patrolinya pada ayah yang langsung membuat ayah terlihat begitu bangga pada Astaka.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Keeper : Maliaza Ambaraningdyah
أدب تاريخيNOTE// Cerita ini murni fiksi dan khayalan saya. Tidak bermaksud menyinggung kalangan manapun. Satu lukisan menarik perhatianku. Itu hanya lukisan hitam putih yang terlihat sangat tua berbingkai cokelat kayu, sederhana dengan seorang gadis yang meng...