#19

330 37 1
                                    

Seperti pagi-pagi sebelumnya dimana banyak diwarnai dengan keributan dan masalah. Aku mengajak pelayan dan pengawal sebanyak mungkin makan bersamaku.

Cindhe membawakan banyak makanan untuk sarapanku hingga aku sendiri ingin muntah melihatnya. Setelah mengambil bagianku secukupnya, aku memanggil semua pelayan dan pengawal yang berlalu-lalang di sekitar kamarku untuk makan bersama. Beruntungnya hanya Paduka Karkasa yang datang untuk melihat.

Dia tidak terlihat marah, bahkan lebih terlihat bangga pada anaknya. Satu hal yang lebih mengejutkannya lagi adalah setelah para pelayan dan pengawal bersimpuh pada raja mereka, Sang Raja malah ikut bergabung untuk makan beberapa buah-buahan.

Taman di samping kamarku menjadi ruang kumpul dadakan karena acara makan-makan yang baru saja aku buka.

"Ali-"

Upps.

Astaka berhenti di tempat, gagal meneriakan namaku. Wajahnya terlihat siap meluapkan amarah padaku sebelum mendapati orang yang paling dihormatinya ada di tengah-tengah kami. Astaka memberi hormat pada Paduka Karkasa lalu berjalan mendekatiku.

"Kemari Astaka." Paduka Karkasa mengulurkan tangannya, mengajak Astaka untuk bergabung, "Mari makan sama-sama."

Astaka tersenyum ragu sebelum mengambil pisang lalu duduk di dekatku dan Cindhe. Terlihat dia masih mencoba mencerna apa yang sedang terjadi.

"Ayah?"

Paduka Karkasa yang sedang berbicara dengan Yugala menoleh padaku. "Ada apa, Ndok?"

"Astri, Cindhe, dan Astaka akan pergi keluar." Kataku meinta izin.

"Kemana?"

"Melukis di dekat sawah." Jawab Astaka mendahuluiku.

Paduka Karkasa menatap Astaka beberapa saat lalu tersenyum, "Iya, baiklah."

"Terima kasih."

.

Ada yang salah dengan apa yang aku gunakan. Kebaya kuno milik Danastri melekat pada tubuhku. Cindhe menyiapkan baju ini ketika aku mandi dan aku menggunakannya. Aku menurut ketika Cindhe mengepang rambutku dan mengikatnya dengan kain. Kini, aku tidak menolak ketika Astaka menyuruhku naik tandu bersama Cindhe.

Aku mulai melihat hamparan sawah dari balik tirai tandu. Banu berjalan beriringan di samping tandu dengan Astaka berada di atasnya mengawasi sekitar. Lelaki itu menjadi lebih serius dan waspada semenjak tadi malam.

Para pengawal yang mengangkut tandu, menurunkan tandu ini dengan hati-hati. Aku masih diam di dalam tandu ketika Cindhe sudah melompat turun. Berpikir sebentar tentang apa yang akan aku dapatkan di sini. Tentang apakah aku harus membuktikan rumah keluarga ada di sana atau tidak. Tentang cara bagaimana aku kembali.

Astaka mengulurkan tangannya untuk membantuku turun.

Tentang apakah aku ingin kembali?

"Astaka?" Aku menggenggam tangannya tapi menolak untuk turun. "Bisakah kau minta mereka agak menjauh?"

"Ada apa?"

"Aku sedikit tidak nyaman."

"Baiklah." Astaka menarik tanganku dan mengangkatku turun dari tandu.

Aku berjalan mengikuti Cindhe ke tengah sawah sembari Astaka memerintahkan pengawal ke suatu tempat.

"Apa aku pernah melukis gunung itu di sini?" Tanyaku pada Cindhe setelah kami sampai di gubuk kecil tengah sawah.

"Ndoro pernah melukis gunung itu di pinggir sungai sana." Jawab Cindhe menunjuk jauh ke ujung sawah sana. Sambil mengeluarkan peralatan melukisku, Cindhe menceritakan keluarganya yang tinggal di desa tidak jauh dari sawah ini dan tentang ayahnya yang juga buruh tani sawah.

"Oke, apa aku bisa mampir ke rumahmu kapan-kapan?" Tanyaku sambil mengambil kertas dan arang hitam.

"Eh, tidak usah Ndoro. Tidak perlu." Cindhe panik mendengar aku ingin mampir ke rumahnya. "Ndoro tidak akan mau pergi ke sana."

"Apa yang tidak perlu?" Astaka datang setelah selesai memberi arahan pada anak buahnya.

"Bisa kita pergi ke rumah Cindhe kapan-kapan?" Aku menarik Astaka agar duduk bersamaku dan Cindhe.

"Ya, tentu."

Aku tersenyum pada Cindhe, "Tidak apa-apa, Cindhe."

"Terima kasih, Ndoro."

Beberapa warga yang lewat menyapa kami semenjak kami duduk di gubuk. Hari semakin siang dan Astaka mengingatkan bahwa kita akan kedatangan tamu nanti malam.

Selembar kertas di tanganku menjadi gambar amburadul dan sangat berbeda dari segala lukisan Danastri di kamar. Cindhe juga mengambil selembar kertas dan arang lalu duduk memunggungiku melakukan entah apa. Ketika aku mencuri-curi pandang dengan apa yang ia lakukan, aku mengira ia sedang menulis dengan huruf pallawa.

Setalah sejak tadi duduk dan mengawasi sekitar, Astaka mengambil selembar kertas dan arang lalu bangun dan hendak pergi.

Aku menarik lengannya dan berbisik, "Apa Cindhe bisa baca tulis?"

Astaka melirik Cindhe sebentar, "Saya rasa tidak."

"Apa Danastri mengajarinya?"

"Sepertinya tidak."

"Apa kau bisa mengajarinya?" Pintaku pada Astaka.

"Baca tulis?" Aku mengangguk, "Ya, bisa."

"Terima kasih."

Setelah itu Astaka berjalan hingga ke jalan lalu duduk di dekat Banu. Di mana Banu menghalaunya dari sinar matahari. Hingga hampir dua jam berikutnya, Astaka kembali dan mengajak pergi. Dari arah desa, para pengawal yang tadi Astaka perintahkan untuk pergi berjalan mendekat.

"Apa yang kau tulis, Cindhe?"

"Tidak tahu. Saya tidak bisa baca tulis." Cindhe mengulurkan kertasnya pada ku.

"Berapa umurmu?" Aku merebut kertas Cindhe dan ingat bahwa aku juga tidak bisa membacanya.

"Tidak tahu. Tujuh belas tahun mungkin?"

Dia semuda itu?!

"Apa kau mau belajar baca tulis?" Tanya Astaka sambil meletakkan kembali arang ke dalam kotak. "Ndoro Ayumu memintaku mengajarimu baca tulis."

Cindhe tersenyum lebar lalu tiba-tiba meraih tanganku dan menciumnya. "Terima kasih, Ndoro."

"Hei." Aku menariktanganku dan mengangkat badannya yang hampir bersujud di hadapanku. "Sama-sama,Cindhe."

The Past Keeper : Maliaza AmbaraningdyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang