GILA! GILA! GILA! Ini siapa yang berani-beraninya ngirim gua ke kelas tumbuh-tumbuhan lagi?!
Setelah makan malam, Dewani membawaku bersamanya untuk belajar. Guru Besar Widyastika sudah duduk di hadapanku dan Dewani sambil membacakan buku di hadapannya. Wanita ini sudah tua, wajahnya keriput, sebagaian besar rambutnya sudah memutih. Hebatnya badan Guru Besar Widyastika masih berdiri tegap, berjalan mondar-mandir, dan bersuara lantang saat menjelaskan.
Aku dalam keadaan sangat ingin berteriak. Tidak ada satu katapun yang masuk dalam otakku, bahkan lewat di telingaku saja tidak. Semua kalimat-kalimat itu melayang bebas di depan mataku.
"Jadi sekarang kalian bisa mencari apa-apa saja yang bisa digunakan untuk menawar racun." Kata Guru Besar Widyastika.
"Saya tinggal sebentar. Kalian bisa gunakan buku-buku yang ada di lemari."
Begitu wanita tua itu pergi, aku mengumpat satu kata yang membuat Dewani menoleh ke arahku. Lemari yang ditunjuk adalah sebuah lemari besar yang terlihat kuno –untukku-, dipenuhi buku-buku yang sangat jelas aku tidak bisa menggunakannya.
"Mbak, mari." Kata Dewani mengajakku berdiri, "Sebelum Guru Besar kembali."
Aku hanya tersenyum menjawabnya lalu mengikuktinya berdiri.
"Coba cari di sini." Dewani menyerahkan sebuah buku tebal ke padaku.
"Cari apa?"
"Tanaman penawar racun?" Jawab Dewani ragu.
"Oh." Aku duduk di bawah, dekat lemari sembari Dewani memilih buku lainnya. Buku di pangkuanku menampilkan huruf-huruf pallawa yang jelas aku tidak mengerti, juga ada beberapa gambar yang menampilkan berbagai macam tumbuhan.
Anjir! Ini gua harus apa?!
Kriieek!
Aku menoleh ketika melihat Dewani memanjat rak buku untuk mengambil buku di atas. Dewani naik selangkah lagi ketika rak kayu itu menimbulkan bunyi menyakitkan.
Kriiek!
"Dewani turun!"
Dewani menarik sebuah buku sebelum melompat turun. Ia tersenyum saat mendarat tepat di hadapanku dengan satu buku di pelukkannya.
Rak kayu di samping kami kembali menimbulkan suara menyakitkan dan menjadi tidak stabil. Perlahan aku menarik Dewani untuk menjauh dari rak.
"AAAAAAAAA!!!"
BUUAAKH!
Satu hentakan menarikku dan Dewani menjauh tepat sebelum rak besar itu menimpa kami. Sebuah tubuh besar berdiri di hadapanku dan Dewani. Aku mendongak dan melihat Batara masih memejamkan matanya sambil menarik napas dalam-dalam.
Berjarak 1 meter di belakang Batara, lemari kayu besar itu hancur dan menghamburkan buku-buku yang dibebankan kepadanya. Batara mendorongku dan Dewani semakin menjauh.
"Ndoro baik-baik saja?"
Dewani jelas masih begitu syok dengan apa yang baru saja terjadi. Gadis ini hanya diam dengan tubuh bergetar, mata berkaca-kaca dan hampir menangis.
"YA ALLAH GUSTI PANGERAN!" Satu teriakan membuatku sadar bahwa aku belum mati tertimpa lemari sialan tadi.
"Kalian baik-baik saja, Ndok?" Dewani menangis histeris begitu ibu memeluknya.
Seketika ruang belajar dipenuhi orang-orang penasaran. Semua bertanya 'apakah kami baik-baik saja'. Di antara kerumunan orang, aku melihat Astaka di ujung sana bersama Yugala memeriksa rak yang sudah hancur membentur lantai.
Saat mata kami tidak sengaja bertemu, dia memandangku sebentar lalu meneliti tubuhku, memastikan aku baik-baik saja, setelah itu memberi tanda agar menunggu.
Aku menolak ketika Batara menawarkan untuk mengantarku sekalian ke kamar. Ketika menoleh kembali pada Astaka, aku merasakan aura marah menguar dari tubuh Sang Raja Besar.
Paduka Karkasa menarik Astaka dan Yugala dan berbisik pada mereka, setelah itu membiarkan panglima kesayangannya pergi. Astaka memberi isyarat padaku untuk mengikutinya keluar.
"Ada apa?" Tanyaku saat sudah menjauh dari keramaian.
"Kau tidak terluka?" Astaka tidak menjawab pertanyaanku dan malah mengajukan pertanyaan lain.
"Astaka." Aku berhenti berjalan dan memaksanya menjawab pertanyaanku.
"Paduka Karkasa marah, kenapa rak buku itu sudah rapuh tapi tidak ada yang tahu." Jawab Astaka. "Kau tidak terluka, kan?"
Aku tersenyum kecil sambil menggeleng. Astaka membuka pintu kamarku dan mendorongku masuk.
"Dengar!" Katanya sambil memegang kedua bahuku, "Ada banyak hal yang harus saya kerjakan."
"Tapi kita tetap akan pergi besok pagi, kan?" Aku menyela sebelum ia mengatakan apa maksud dari ucapannya.
Astaka tersenyum lalu menarikku mendekat. Aku mematung ketika bibir lelaki di hadapanku menyentuh keningku. Cukup lama hingga aku bisa menarik napasku lagi.
"Cindhe akan menemanimu malam ini." Katanya setelah melepaskanku, "Besok pagi saya akan jemput."
Aku masih membeku di tempat yang sama dalam posisi yang sama. Rasa hangat dari keningku kini menjalar keseluruh tubuhku. Si berengsek itu pergi setelah melakukan hal yang tidak seharusnya ia lakukan, seolah ia sudah biasa melakukan itu.
Sudah biasa?
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Keeper : Maliaza Ambaraningdyah
Tarihi KurguNOTE// Cerita ini murni fiksi dan khayalan saya. Tidak bermaksud menyinggung kalangan manapun. Satu lukisan menarik perhatianku. Itu hanya lukisan hitam putih yang terlihat sangat tua berbingkai cokelat kayu, sederhana dengan seorang gadis yang meng...