Aku bertingkah seolah tidak terjadi apapun. Seolah bunuh diri yang dilakukan penyusup itu tidak berpengaruh padaku. Seolah suratnya hanyalah lelucon yang bisa aku abaikan dengan mudah.
Pagi ini aku mulai melakukan kontrol seperti biasa ke sawah sisi timur dan pemantauan panen di kebun salak. Kata paman Purwanka seharusnya kami bisa memanen salak dalam waktu dekat.
Paman Purwanka berbicara pada kepala pengurus perkebunan, jadi aku yang mendengarkan pekerja melaporkan beberapa hal tentang keperluan panen.
Sebagaian besar hanyalah omong kosong sok pintar dari otakku karena aku juga tidak tahu apa saja yang harus dipersiapkan sebelum panen. Aku berdiri mengawasi sambil memakan buah salak yang sudah matang.
"Ehm." Giyarto bergumam di belakangku. "Ndoro?"
Aku menoleh dan memandang ke arah Giyarto melirik. Siapa itu nama anak pak Mardhi aku lupa, dia berjalan mendekatiku. Aku menghampirinya dan berjongkok di hadapannya.
"Ndoro ingat saya? Saya Muni."
Ah. Untung dia menyebutkan namanya.
"Saya ingat. Apa yang kamu bawa untukku kali ini?"
"Bunga." Muni menyodorkan tangkai penuh bunga kemuning yang mekar dan harum luar biasa. "Bunga ini tumbuh di depan rumah kami. Kakak merawat tanamannya dengan baik."
"Kakakmu suka bunga?" Tanyaku.
Muni mengangguk.
"Kemana kakak?"
"Di pasar, membantu ibu." Jawab Muni. "Ada satu lagi."
Telapak tangannya yang kecil terbuka dan menunjukan sebuah gelang berwarna hitam dan cokelat. Gelang itu terbuat dari tiga benang yang dikepang dan ikat kuncinya bisa dilonggarkan.
Aku berdiri dan menggandeng tangannya menuju pendopo terdekat. Kami duduk bersama di sana.
"Terima kasih."
Muni memakaikan gelang itu di tangan kiriku. Berdampingan dengan gelang hitam-merahku.
Apakah ini termasuk gratifikasi? Tentu iya dong.
"Kamu mau?" Aku menawarkan buah salah yang sudah dikupaskan Giyarto padanya. Muni malu-malu mengambilnya dari tanganku. "Ayo ceritakan rumahmu, teman-temanmu?"
Muni dengan semangat menceritakan bahwa dia tinggal bersama orang tuanya, seorang kakak perempuan, dan neneknya. Muni memiliki tiga kakak lainnya, dua pindah ke desa bagian barat sudah berkeluarga dan satu lagi ikut di rumah suaminya.
Dia menceritakan kegiatan di rumahnya. Ibu dan kakaknya berjualan di pasar setiap hari, ayahnya akan pergi ke sawah atau memberi makan hewan ternak, dia akan membantu neneknya mengurus rumah.
Saat siang ibu dan kakaknya pulang lalu dia dan kakaknya mengantar makan siang untuk ayah mereka. Saat sore dia akan pergi bermain di depan rumah bersama tetangganya. Saat malam mereka makan malam bersama dan bermain bayangan-bayangan.
"Semenjak hari di balai desa itu, saya jadi punya lebih banyak teman. Saya di ajak main di sawah, di sungai, di lapangan."
Aku pernah kecil dan pernah jadi jahat. Muni mungkin tidak banyak di ajak main oleh teman-temannya karena hal yang tidak jelas. Waktu aku seumur mereka aku juga sering tidak mau bermain dengan seorang anak gang belakang hanya karena dia diantar motor ke sekolah oleh ayahnya yang sekalian berangkat kerja. Sedangkan kami anak-anak lainnya harus berhempitan naik mobil van jemputan sekolah.
Alasan yang kami berikan adalah obrolan kita dengan dia tidak nyambung. Kasihan dia tidak mengerti topik pembicaran kita.
Aku tidak ingin tahu kenapa Muni awalnya tidak di ajak main. Membahas itu hanya akan membuatnya tidak enak hati dan merusak suasana.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Keeper : Maliaza Ambaraningdyah
Fiksi SejarahNOTE// Cerita ini murni fiksi dan khayalan saya. Tidak bermaksud menyinggung kalangan manapun. Satu lukisan menarik perhatianku. Itu hanya lukisan hitam putih yang terlihat sangat tua berbingkai cokelat kayu, sederhana dengan seorang gadis yang meng...