Aku duduk di kursi yang melingkar di meja bundar yang ada di tengah taman berbunga bersama Astaka, Safield, dan Parwoko. Ia menarik aku dan Astaka duduk di meja tengah taman. Safield datang membawa setangkai bunga merah.
"Kamu membawakanku banyak sekali bunga-bunga. Harus aku simpan di mana lagi?" Kataku sambil memutar-mutar bunga sepatu di tanganku.
"You keep every that flowers?"
Ketika aku melirik ke arah Parwoko untuk berbasa basi, aku sadar bahwa aku hanya bersandiwara di hadapan Safield.
"Aku mencoba untuk mengeringkan bunga-bunga itu untuk di simpan. Nanti aku coba pilah mana yang masih layak."
Wajah Safield sedikit memerah. Ia tersenyum tipis sambil mengusap wajah. Aku dan Parwoko tertawa kecil melihatnya. Kami sepertinya tidak akan pernah tidak tertawa ketika melihat wajah Safield memerah malu. Sedangkan dari reaksi Safield di bawah meja Astaka pasti habis menendang kaki Safield.
"Ada yang lain." Kata Safield. Ia merogoh saku di dada kirinya dan mengeluarkan sesuatu. "Maybe around four months when I got this chocolate from my friend from the last country, but I already eat this morning and still worth to eat. Not expired."
Parwoko menerjemahkannya.
Aku ingin merebut cokelat di tangannya dan langsung memakannya. Hidupku di sini bahkan membuatku lupa bahwa ada begitu banyak makanan enak yang tidak bisa aku nikmati di sini.
Safield menyodorkan dua keeping cokelat berlapis alumunium dan kertas. Aku mengambilnya pelan-belan, menimbang-nimbangnya di telapak tanganku.
"Apa itu?" Tanya Astaka.
Aku melirik Parwoko untuk mencari pembenaran. Ia mengabaikan tatapanku dan beralih pada Astaka.
"Cokelat. Rasanya manis agak sedikit pahit." Jawab Parwoko.
Aku membuka bungkus cokelatnya. Berusaha untuk tidak terlihat bahwa aku kelewat exited. Dari warnanya aku tahu bahwa kemungkinan cokelat ini agak pahit seperti yang Parwoko katakan. Aku membagi dua kepingan cokelat bundar di tanganku dan memberikannya pada Astaka.
"I know that chocolate can reduce our stress hormone and make us more happy."
Parwoko menerjemahkan. Aku memakan cokelat tanpa ragu sambil mendengarkan Safield berbicara. Astaka menggigit kecil kepingan cokelat dan sesekali meringis karena pahit. Aku sadar bahwa harusnya aku bisa bereaksi seperti Astaka dan bukannya malah makan dengan semangat.
"This is not gonna make you forget or cover up your feeling or fix anything. Maybe this is not even gonna make your feeling better, but I just wanna try."
And you make it. This chocolate make me feel better and wanna cry full of pleasure.
"Terima kasih."
Safield tersenyum sambil menepuk-nepuk tanganku. "Don't want to see you so blue anymore."
Haruskan aku benar-benar mempercayakan Danastri pada Safield? Jika anak ini benar-benar jatuh pada Danastri mungkin apapun yang terjadi dia tetap bisa mempertahankan Danastri untuk hidup. Aku hanya ingin tetap hidup.
"Kamu gak suka?" Tanyaku pada Astaka. Lelaki itu menggeleng pelan. "Sini."
Astaka kaget ketika aku merebut cokelat dari tangannya dan memakannya. "Itu bekas saya." Aku mengangkat alis dan tetap mengunyah cokelat yang sudah masuk ke dalam mulutku.
"Kau suka?" Tanya Safield. Dan aku mengangguk pelan-pelan. Berusaha tidak menunjukan ekspresi yang berlebihan. "I'm gonna send letter to my friend to send another chocolate."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Keeper : Maliaza Ambaraningdyah
Ficción históricaNOTE// Cerita ini murni fiksi dan khayalan saya. Tidak bermaksud menyinggung kalangan manapun. Satu lukisan menarik perhatianku. Itu hanya lukisan hitam putih yang terlihat sangat tua berbingkai cokelat kayu, sederhana dengan seorang gadis yang meng...