Aku tidak tahu kapan Cindhe datang. Saat aku sadar, dia sudah duduk di sampingku. Cindhe hanya duduk dan memandangku. Ragu-ragu tangannya terulur ke bahuku dan mengusapnya.
Cindhe datang dari dapur membawa nampan berisi teko air yang baru beserta gelas-gelasnya dan lampu minyak yang menemaninya dari dari dapur hingga ke sini.
Aku membersihkan hidungku dan mengusap air matanya. Tidak sadar kalau aku menangis.
"Oh, hai! Aku tidak tahu kamu datang."
"Ndoro Ajeng kenapa?"
"Tidak apa-apa." Jawabku. "Bisa tolong kamu carikan kotak kayu agak besar yang kosong?"
Cindhe bangun membawa lampu minyaknya menuju ruang lukis Danastri. Dicarinya di tumpukan peti dan kotak kayu di pojok ruangan. Cindhe duduk di lantai membongkar kotak kayu dan memilah-milah isinya.
"Yang itu tidak apa, Cindhe." Kataku saat Cindhe memegang sebuah kotak kayu. "Ada isinya?"
"Sisa-sisa peralatan lukis yang tidak pernah terpakai, Ndoro."
"Keluarkan saja sisinya. Buang."
Cindhe melakukannya. Ia mengeluarakn arang dan alat pewarna yang mungkin sudah berjamur lalu membuangnya ke keranjang kecil dekat kamar mandi. Cindhe meniup-niup kotak, membersihkannya dari debu. Bagian dalam kotak ia bersihkan menggunakan kain bawahan yang dikenakannya.
"Untuk apa?" Tanya Cindhe sambil berjalan ke arahku.
"Untuk menyimpan barang-barang ini."
Bunga-bunga pemberian Safield yang sudah aku pilah, aku ikat jadi satu menggunakan pita. Lukisan Astaka aku ambil dan aku buka balik. Di belakangnya yang masih kosong, aku tulis nama Astaka dengan huruf Pallawa. Aku kembalikan lukisan itu di dalam lipatan kulit tipis.
Buku pemberian ayah aku ambil dan ku usap cover kulitnya. Meraba ukiran nama Danastri di depan. Aku balik buku itu dan melihat ukiran namaku di pojok bawah. Tidak sebesar nama Danastri di depan, tapi itu cukup untuk meninggalkan jejakku.
Buku itu aku letakkan di dalam kotak, menjadi bagian paling bawah. Ada setumpuk salinan vocabulary dan percapakan dasar bahasa inggris. Lalu disusul lukisan Astaka. Bunga kering pemberian Safield, kotak berisi anting pemberian ibu, dan bros Safield yang sudah aku masukan ke dalam kotak mirip pemberian ibu.
Surat yang aku tulisan barusan, aku gulung dan ku ikat menggunakan tali kecil sebelum aku masukan ke dalam kotak.
Aku mengambil satu kertas lagi dan menulisnya.
Danatsri.
Ibu memberikan anting yang cantik sekali.
Safield juga memberikan bros yang tidak kalah cantiknya.
Kamu akan begitu mempesona ketika menggunakannya. Bisakah kamu jaga barang-barang ini dengan baik? Aku minta tolong padamu.
Aku melipat kertas itu dan memasukannya juga ke dalam kotak.
Sebelum menutup kotak, aku mengingat benda apa lagi yang mungkin bisa aku masukan ke dalam kotak. Tanganku meraba pergelangan kiriku. Gelang bermanik hitam merah yang Astaka berikan ada di sana bersama gelang pemberian Muni. Aku melirik belati yang aku letakkan di atas meja rias.
Tidak. Aku menyerahkan semuanya pada Danastri. Tapi tidak untuk ini. Gelang dan belati itu milikku. Bukan miliknya.
Aku menutup kotak, menguncinya, dan mengikatnya dengan tali yang sama dengan tali yang mengikat suratku.
"Kenapa semuanya di masukan ke dalan kotak, Ndoro?" Tanya Cindhe.
"Supaya aku bisa menyimpannya dengan baik." Aku tersenyum memandangnya. "Nanti, jika aku melupakan sesuatu atau aku berlaku aneh menurutmu, katakan padaku, ingatkan aku untuk membuka kotak ini, ya!"
Aku tidak tahu bagaimana mengatakan pada Cindhe kalau maksudku adalah 'nanti jika Danastri kembali, tolong sampaikan padanya untuk membuka kotak ini karena aku punya pesan untuknya'.
.
Semalam aku meminta Cindhe menemaniku tidur. Dia bercerita beberapa hal sebelum kami tidur. Bercerita tentang adiknya, teman-teman sekamarnya, tentang laki-laki. Aku sempat menggodanya ketika ia bercerita tentang seorang pemuda. Cindhe hanya tertawa malu dan mengatakan kalau pemuda itu teman masa kecilnya di rumah.
Cindhe membangunkanku tidak tahu jam berapa. Gadis itu menawarkan sarapan di ruang makan atau di kamar. Aku katakan padanya kalau aku ingin diam di kamar. Aku ingin makan di ruang makan dan mungkin bisa menggoda paman Djati lebih jauh lagi. Tapi aku ingat kalau aku berjanji untuk tidak lagi membuat keributan karena aku butuh untuk tetap hidup.
Semalam, aku sembunyikan kotak kayu itu di bawah tempat tidur. Mudah untuk ditemukan, tapi siapa juga yang akan membongar kolong tempat tidurku, kan? Aku katakan pada Cindhe untuk jangan mengatakan pada siapapun termasuk Astaka.
Pagi ini Astaka datang masih dengan wajah lelahnya. Kami bertiga sarapan seperti biasanya. Aku bertanya pada Astaka apa yang akan dia lakukan hari ini. Dia bilang bahwa dia tidak lagi menyelidiki penyusupan itu, semua dialihkan pada Lawana. Astaka menyelesaikan pemberontakan yang terjadi di desa barat hingga ke desa perbatasan utara.
"Hari ini kamu pergi lagi?" Tanyaku.
Astaka mengangguk sambil mengunyah buah pisang.
"Oke, hati-hati."
Astaka tersenyum memandangku.
Haruskah aku khawatir? Kenapa bisa terjadi pemberontakan? Apa penyebabnya? Apakah cukup berbahaya Astaka berada di sana?
Aku merasakan perasaan tidak nyaman mendengar adanya pemberontakan. Apalagi keadaannya sedang kosong. Belum ada yang menggantikan posisi ayah. Semua sektor masih berjalan dengan baik karena semua menjalankannya masing-masing.
Tadinya, aku mau minta Astaka untuk mengantarkanku mampir ke rumah Cindhe. Sepertinya tidak mungkin karena dia sibuk dan lelah. Aku juga tidak yakin Astaka mengizinkan jika hanya ada Giyarto.
Sepanjang hari ini aku hanya melanjutkan hidup dengan kelas Guru Besar Widyastika dan pergi ke kebun tanaman herbal. Dewani senang sekali berada di sana. Dia tahu segala hal tentang tanaman ini bisa mengobati itu, tanaman yang itu bisa mengobati ini, tanaman yang di sana bisa untuk jamu ini dan itu, tanaman ini jika digunakan berlebihan bisa menjadi racun. Dia senang sekali dengan tanaman herbal.
Saat makan siang dan duduk di meja makan, tidak ada pembahasan tentang Datyani yang keracunan dari paman Djati. Sepanjang makan siang itu aku terus memandangi paman Djati tanpa maksud apapun. Aku hanya mencoba mengintimidasi dan membuatnya merasa seolah aku mencurigainya.
Membuatnya cukup terancam untuk tidak menuduhku dan Dewani yang macam-macam.
Meskipun aku tidak ingat apa yang terjadi malam itu, tapi aku cukup heran melihat paman Djati mulus tanpa luka.
Hingga sore hari ketika Safield datang.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Keeper : Maliaza Ambaraningdyah
Tiểu thuyết Lịch sửNOTE// Cerita ini murni fiksi dan khayalan saya. Tidak bermaksud menyinggung kalangan manapun. Satu lukisan menarik perhatianku. Itu hanya lukisan hitam putih yang terlihat sangat tua berbingkai cokelat kayu, sederhana dengan seorang gadis yang meng...