Setelah sarapan bersama Astaka dan Cindhe beberapa lama di kamarku, Astaka pamit untuk mulai melatih prajurit-prajurit yang sudah Batara pilih untuknya. Setelah Astaka pergi, Cindhe dan beberapa pengawal datang ke kamarku, memberi tahu bahwa Paduka Karkasa memanggilku.
Ya mampus aja gua. Mau apa lagi sih?
Setelah mandi sambil membiarkan Cindhe menyisir rambutku, aku merendam kakiku dengan air hangat. Bengkak di kakiku sudah lebih baik dari semalam, tapi tiba-tiba ada memar yang muncul.
Aku menunduk melihat kakiku yang terdapat memar lalu beralih beberapa undakan tangga menuju bangunan rumah yang lebih tinggi. Seorang pengawal senior yang sering terlihat bersama ayah mengulurkan tangannya padaku. Membantuku menuju ruangan.
Ruangan tempat Paduka Karkasa memanggilku terlihat seperti aula besar yang hanya diisi oleh anggota keluarga dan 3 petinggi kerajaan. Aula yang terletak di lantai dua itu dipenuhi tiang-tiang besar disertai ukiran-ukiran kayu yang begitu indah. Tidak banyak obor yang menyala karena jendela-jendela besar dibiarkan terbuka.
Bisa dipastikan apa yang aku dapatkan ketika kumpul-kumpul seperti ini terjadi. Tatapan Datyani dan Lawana. Bahagianya adalah Lawana tidak ada di ruangan saat ini.
Satu hal yang aku syukuri adalah Denurtri ada untuk memperlebar jarakku dengan Datyani. Di atas undakan tangga tidak ada kursi tempat sepasang Raja dan Ratu biasa duduk. Hanya ada dua bantalan tempat Paduka Karkasa dan Nyai Kinasih duduk besimpuh, duduk ala anak-anak saman.
"Kita mulai saja sekarang." Satu kalimat dari pemimpin mereka satu ruangan hening seketika.
"Ndoro Danastri?"
Mampus kan, tuh! Kenapa tiba-tiba ini orang manggil anaknya seperti itu?
Perlahan, aku mendongak, melihat bagaimana senyum kedua orang di atas sana kepadaku dan aku sama sekali tidak bisa membalas senyum itu meski dipaksa sekalipun. Ada apa sebenarnya?
"Ndok, apa yang sudah kau lakukan tempo hari sangat-"
Cukup. Aku tidak bisa lagi mendengar kelanjutannya. Suaranya hilang ditelan gelapnya masa depanku di sini.
"TIDAK BISA!"
Aku tersadar dengan sebuah teriakan. Teriakan yang seolah tepat berada di telinga kiriku. Seketika hawa tenang disini berubah menyakitkan.
"TIDAK BISA SEPERTI ITU!" Datyani terdengar semakin marah dan menggila.
Apa yang Paduka Karkasa katakan?
"Datyani!" Suara ayah terdengar kalah oleh gema suara Datyani. "Datyani!" Sekali lagi teriakan ayah tidak bisa mengalahkan gema suara Datyani.
Dari apa yang wanita itu teriakan, aku paham bahwa apa yang telah dibicarakan Paduka Karkasa adalah menawariku untuk menggenggam tongkatnya saat dia sudah lungsur nanti. Tongkat yang seharusnya berada di genggaman Datyani. Tongkat kekuasaan pemerintahan.
"KENAPA?!" Datyani yang judes dan anggun disaat yang bersamaan berubah menjadi moster yang benar-benar monster. "YANI YANG HARUSNYA DAPAT ITU. BUKAN ASTRI!"
"DATYANI!" Wanita itu berhenti, duduk kembali dengan napas yang tidak beraturan.
Dari ekor mataku, aku melihat Dewani hanya duduk sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam, sedangkan Denurtri hanya sesekali melirik Datyani lalu beralih pada kedua orangtuanya. Di belakang kami terdapat tiga orang petinggi kerajaan yang duduk tenang seperti sudah meramalkan hal ini akan terjadi.
"Datyani." Ayah memelankan suaranya. "Jadi usaha apa yang selama ini kau lakukan? Tidak ada satu perubahan apapun dari dirimu yang membuat kami yakin untuk tetap memberikannya padamu, Ndok."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Keeper : Maliaza Ambaraningdyah
Historical FictionNOTE// Cerita ini murni fiksi dan khayalan saya. Tidak bermaksud menyinggung kalangan manapun. Satu lukisan menarik perhatianku. Itu hanya lukisan hitam putih yang terlihat sangat tua berbingkai cokelat kayu, sederhana dengan seorang gadis yang meng...